Rabu, 25 November 2015

Artikel Pajak ARTIKEL PAJAK (TAX ARTICLE) ANALISIS TERHADAP PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI (PPH ORANG PRIBADI TAHUN 2015 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia berupaya keras untuk melaksanakan pembangunan semaksimal mungkin, dimana negara yang sedang berkembang adalah negara yang terus-menerus melakukan pembangunan nasional dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat. Hal ini senada dengan Waluyo (2012), yang menyatakan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materill maupun spiritual yang didukung dengan penyediaan dana yang memadai untuk keberhasilan pelaksanaan pembangunan tersebut. Salah satu sumber dana yang digunakan untuk pembangunan adalah berasal dari penerimaan pajak penghasilan (PPh). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 dalam Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Data Kemenkeu menunjukkan target penerimaan pajak tahun 2015 sebesar Rp1.484,6 triliun dan PNBP sebesar Rp281,1 triliun. Sementara itu, defisit APBN tahun anggaran 2015 dipenuhi dengan pembiayaan dalam dan luar negeri yang antara lain bersumber dari Surat Berharga Negara, dana investasi pemerintah dan pembiayaan luar negeri. Jika kita perbandingkan antara penerimaan perpajakan pada APBN-P tahun 2015 yang sebesar Rp1.484,6 triliun dengan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2014, maka terdapat peningkatan sebesar 29,5 persen atau setara sekitar Rp339 triliun (Ginting, Mulianta, 2015). Sejalan dengan pesatnya kemajuan di berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, mengakibatkan kebutuhan dan kepentingan rakyat yang semakin beraneka ragam serta semakin kompleks. Hal ini jelas harus diimbangi oleh pemerintah dalam menggalakkan pembangunan di berbagai sektor lainnya, oleh karena itu pemerintah tentunya, memerlukan sumber dana yang tidak sedikit.Sumber dana tersebut diantaranya diperoleh dari pemungutan pajak. Sehingga apabila dari sektor pemungutan pajak mengalami berbagai hambatan, jelas mengakibatkan berkurangnya penerimaan negara, yang berdampak tidak stabil aktivitas negara dalam melaksanakan pembangunan di berbagai sektor (Markus, Muda, 2005). Kepatuhan wajib pajak adalah kondisi dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban dan melaksanakan hak perpajakannya ((Rohmawati, dkk, 2013). Variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak adalah pelayanan fiskus sanksi perpajakan, sosialisasi perpajakan, kesadaran wajib pajak, dan kondisi keuangan, dimana pelayanan fiskus adalah cara petugas pajak dalam membantu, mengurus, atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang yang dalam hal ini adalah wajib pajak (Jatmiko dan Nugroho, 2006). Pelayanan fiskus berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak (Yogatama, 2014). Sanksi Perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan akan ditaati, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan (Mardiasmo. 2009). Sosialisasi perpajakan juga berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Sedangkan temuan Pratiwi dan Setiawan (2013), dan Rohmawati (2012) menunjukkan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak (Rohmawati, 2012). Terakhir, kondisi keuangan wajib pajak memiliki pengaruh positif tehadap tingkat kepatuhan wajib pajak (Aryobimo, 2012). Dengan demikian kepatuhan wajib pajak merupakan salah satu kunci utama untuk memaksimalkan pendapatan negara dari sektor pajak. Dalam RAPBN tahun 2015, pendapatan negara mencapai RP1.762,29 triliun. Dari jumlah itu, penerimaan perpajakan mencapai Rp1.370,82 triliun, atau sebesar 77,79% dari total pendapatan negara. Sedangkan sisanya merupakan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp388,04 Triliun, atau sebesar 22,02% dari total pendapatan negara. Tujuan pemungutan pajak ini adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat yang merupakan perwujudan atas kewajiban kenegaraan dan partisipasi anggota masyarakat dalam meningkatkan penerimaan negara untuk memenuhi keperluan pengeluaran pembangunan nasional, guna tercapainya keadilan sosial dan kemakmuran yang merata baik material maupun spiritual (Harahap, Asri, 2004). Dalam upaya peningkatan penerimaan pajak yang berasal dari orang pribadi pada tahun 2015 ini, pemerintah Indonesia berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) khususnya bagi wajib pajak orang pribadi, dengan tujuan akhir yaitu untuk menambah jumlah Wajib Pajak yang terdaftar dan terdaftar dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Mengingat pentingnya penerimaan negara yang berasal dari sektor pajak ini, maka pada tahun 2015 melalui Anggaran Penerimaan dan Belanja Nasional Perubahan (APBN-P) Pemerintah Republik Indonesia berupaya keras untuk meningkatkan penerimaan dari sektor perpajakan dengan lebih berorientasi pada peningkatan penerimaan pajak penghasilan yang berasakl dari orang pribadi (perorangan) untuk memompa peningkatan target penerimaan pajak dan menghasilkan penambahan jumlah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar dan tercatat dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Hal dapat terlihat pada Postur APBN-P tahun 2015 Pemerintahan Jokowi-JK membukukan belanja negara sebesar Rp1.994,9 triliun. Penerimaan pendapatan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp1.765,7 triliun. Dari jumlah ini, target perpajakan ditetapkan sebesar Rp1.484,6 triiun. Penetapan target penerimaan perpajakan yang sangat tinggi tersebut membuat khawatir beberapa kalangan. Untuk mencapai target ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu melakukan upaya ekstra dalam penentuan strategi perpajakan. Selain itu, dukungan DPR RI juga sangat diperlukan untuk mendorong pencapaian target tersebut yang salah satunya dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan politik anggaran dan regulasi(Ginting, 2015). Untuk itu upaya perwujudannya dalam menuju ke arah otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab, antara lain perlu diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak penghasilan (Mardiasmo, 2003). Didasarkan pada latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk mengetengahkan artikel dengan judul “Analisis Terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh Orang Pribadi) Tahun 2015.” B. Perumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana ekstensifikasi dan intensifikasi pajak penghasilan orang pribadi pada tahun 2015? 2. Bagaimana Strategi Pencapaian Target Pajak Penghasilan Orang Pribadi pada Tahun 2015? 3. Bagaimana upaya Pemerintah/Negara dalam meningkatkan Penerimaan Pajak Penghasilan Perorangan (Orang Pribadi) pada tahun 2015? BAB II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN. A. Pengertian Pajak. Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang secara langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar segala keperluan umum (Mardiasmo. 2009). Marsyahrul, Tony (2005), mendefinisikan pajak sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya dipergunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah, yang balas jasanya tidak secara langsung diberikan kepada pembayarnya, sedangkan pelaksanaannya akan dapat dipaksakan. Pemberian balas jasa tersebut di atas diwujudkan dalam bentuk pemberian kepada seluruh masyarakat seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, pembangunan sarana-sarana umum masyarakat (Marsyahrul, 2006). Sementara Zain Muhammad (2003), mengartikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah ) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjuk untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan (Zain, 203). Djuanda, Gustian dan Irawansyah Lubis (2004), mengartikan pajak sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah dengan paksaan yuridis untuk memperolah alat-alat guna membiayai pengeluaran pemerintah tanpa memberi sesuatu yang timbal balik terhadap pungutan tersebut. Dari beberapa definisi dan istilah pajak di atas, Pajak adalah, iuran atau pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penghasilan pihak wajib pajak atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah dan surplusnya digunakan sebagai sumber utama untuk pembiayaan pembangunan. B. Pengertian Pajak Penghasilan. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015). Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 terbaru adalah sebagai berikut: (1) Penghasilan kena pajak yang berlaku bagi:(a) Pegawai tetap, (b) Penerima pensiun berkala, (c) Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), dan (d) Bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan. (2) Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Dengan ketentuan sebagai berikut: (a) 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan, (b) Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan di atas, dan (c) Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan kotor (bruto). C. Subyek dan Objek Pajak Penghasilan. Subyek pajak penghasilan adalah a) orang pribadi atau perorangan, anak yang belum dewasa,orang yang berada dalam pengampunan diwakili salah seorang wali atau pengampuannya, b) warisan yang belum terbagi, diwakili salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya, c) badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), CV, BUMN, BUMD, dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, firma, dan bentuk usaha tetap (Adya, 2014). Menurut Waluyo (2010), Obyek pajak penghasilan adalah setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia atau diperoleh dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengannama dalam bentuk apapun termasuk di dalamnya, a) gaji, upah, komisi, bonus atau grafitasi, uang pensiun atau imbalan lainnya dalam bentuk uang untuk pekerjaan yang dilakukan, termasuk juga premi asuransi jiwa dan kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, b) honorarium, hadiah, undian, dan penghargaan, c) laba bruto usaha, d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan usaha lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi, e) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya, f) bunga, dalam pengertian bunga termasuk pula imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, baik yang dijanjikan maupun tidak. Kecuali bunga deposito berjangka, tabungan-tabungan lainnya milik penduduk Indonesia yang pelaksanaan pengenaan pajak penghasilannya ditangguhkan sampai saat yang ditentukan oleh pemerintah. Terhadap tabungan-tabungan lain seperti Taska, Tabungan , tidak dilakukan penyusutan perpajakn atau fiskal, g) deviden, dengan nama da dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseorangan, pembayaran deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian SHU Koperasi kepada anggota, h) royalti, dalam hal ini yang dimaksud adalah pembayaran royalti sehubungan dengan penggunaan hak, seperti hak paten atau oktroi, lisensi, merek dagang, pola atau model, rencana, rahasia perusahaan cara pengerjaan, hak pengarang dan hak cipta mengenai suatu karya sinematografi, i) sewa dari harta, yang mana mengatur penghasilan uang yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta, baik harta gerak misalnya sewa pemakaian mobil dan harta tidak bergerak misalnya sewa rumah, j) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, misalnya tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berkala, k) keuntungan karena pembebasan hutang sehingga pembebasan hutang oleh pihak piutang merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berhutang (Waluyo, 2010). D. Fungsi Pajak Penghasilan. Fungsi Pajak Penghasilan dalam Penerimaan Negara berkaitan pada kontek kewajiban Pemerintah Negara Republik Indonesia. Bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia berkewajiban memenuhi masyarakat baik bidang keamanan negara, pertahanan, maupun pelayanan termasuk peningkatan kesejahteraan dan kecerdasan kehidupan bangsa. Karena tugas Pemerintah itulah maka agar dapat meningkatkan kegiatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan, perlu adanya usaha yaitu dengan jalan meningkatkan sumber pembiayaan pemerintah, baik untuk pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Menurut Zain Mohammad (2003), penerimaan pajak penghasilan secara umum dapat digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat yang akan tercermin dalam tingkat kesejahteraan rakyat, selain itu untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Resmi Siti (2009) menambahkan bahwa fungsi pajak penghasilan selain untuk meningkatkan atau melangsungkan kehidupan negara, juga digunakan untuk pembangunan yang akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Sehingga pajak merupakan suatu alat untuk pembiayaan masyarakat, yaitu untuk membiayai pengeluaran untuk kepentingan masyarakat umum. Dengan demikian bahwa pemungutan pajak atas pajak penghasilan selalu berdasarkan keadaaan ekonomi rakyat, hal ini juga berlaku terhadap pajak-pajak lainnya, dan hasilnya digunakan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dari penerimaan negara tersebut, khususnya dari sektor pajak penghasilan. E. Unsur-unsur Penggalian Potensi Pajak Penghasilan. Menurut Selvia dan Abriandi, pada tahun 2015 terdapat tiga unsur penting yang harus diperhatikan dalam upaya pelaksanaan penggalian potensi pajak yaitu: (1) Sumber daya manusia, (2) Penyempurnaan proses bisnis, dan (3) Manajemen kinerja berbasis Balanced Score Card (BSC). Sumber daya manusia tidak hanya dilihat dari segi kualitas dengan memberikan pelatihan dan diklat kepada pegawai pajak. Sementara penyempurnaan proses bisnis, dilakukan untuk mencapai tujuan reformasi administrasi perpajakan yang didukung dengan unsur ketiga yaitu manajemen balanced score card (BSC) yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, dimana kinerja BSC ini dapat diukur melalui 4 persepektif, yang meliputi antara lain: (1) Perspektif pemangku kepentingan atau pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders perspective), (2) perspektif konsumen atau klien (customer perspective), (3) perspekti proses internal (internal process perspective), dan (4) perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and browth perspective). Perspektif stakeholders lebih menekankan pada tolok ukur penerimaan pajak yang optimal dan tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi terhadap Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), perspektif customer lebih berorientasi kepada peningkatan kesadaran dari wajib pajak orang pribadi dalam mematuhi untuk membayar pajak, sementara perspektif proses internal lebih berfokus pada perbaikan pemahaman wajib pajak dengan kesadaran yang tinggi dari dalam diri mereka, yang terakhir perspektif pembelajaran dan pertumbuhan lebih cenderung memfokuskan pada peningkatan pemahaman dari wajib pajak melalui proses pembelajaran dan pencapaian serta peningkatan pertumbuhan jumlah penerimaan pajak yang berasal dari pajak penghasilan perorangan (orang pribadi) (Selvia, Abriandi, 2015). BAB III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Ekstensifikasi pajak merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah wajib pajak (WP) terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Tujuan utama dari ektensifikasi pajak tahun 2015 adalah untuk meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, khususnya pajak penghasilan orang pribadi seperti yang diatur dalam PPh Pasal 21. Salah satu contoh pelaksanaan ekstensifikasi pajak adalah dengan melakukan sensus pajak, dimana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia menerapkan strategi perpajakan tahun 2015 yaitu untuk melakukan sensus pajak yang bertujuan untuk mendata ulang wajib pajak orang pribadi yang pada akhirnya dapat menambah jumlah NPWP khususnya yang berkaitan dengan wajib pajak orang pribadi. Strategi ini dinilai cukup berhasil, hal ini dibuktikan pada tahun 2012 sebelumnya, yaitu dengan merujuk pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 06 Tahun 2001 (SE/06/PJ/2001), dimana sensus penduduk pada tahun 2012 lalu dapat menghasilkan penambahan jumlah NPWP sebanyak dua juta orang, dimana kontribusi penerimaan pajak bagi negara mencapai lebih dari 70 persen dari total keseluruhan penerimaan negara (Gustina,(2013). Maka strategi sensus pajak ini dapat diterapkan kembali sebagai strategi untuk menambah jumlah wajib pajak terdaftar yang berasal dari orang pribadi atau pajak penghasilan dari orang pribadi yang dinilai masih memiliki persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis pajak lainnya. Intensifikasi pajak merupakan kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek dan subjek pajak yang telah tercatat dan terdaftar dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Tujuan utama dari pelaksanaan intensifikasi pajak tahun 2015 ini adalah untuk menggali 2 potensi utama dari para wajib pajak khususnya wajib pajak yang berasal dari orang pribadi (perorangan), yang pertama adalah dengan cara metode langsung (direct method) dengan melakukan penggalian potensi pajak melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Tahunan dan laporan keuangan yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Kedua, adalah dengan menggunakan metode tidak langsung (indirect method), yang menggali potensi wajib pajak orang pribadi melalui pemanfaatan data di luar SPT Tahunan dan Laporan Keuangan (Purwanto, 2013). B. Strategi Pencapaian Target Pajak Penghasilan Orang Pribadi pada Tahun 2015 Pada APBN-P tahun 2015 Pemerintahan Jokowi-JK menetapkan anggaran belanja negara sebesar Rp1.994,9 triliun. Penerimaan pendapatan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp1.765,7 triliun. Dari jumlah ini, target perpajakan ditetapkan sebesar Rp1.484,6 triiun. Penetapan target penerimaan perpajakan yang sangat tinggi tersebut membuat khawatir beberapa kalangan. Untuk mencapai target ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu melakukan upaya ekstra dalam penentuan strategi perpajakan. Selain itu, dukungan DPR RI juga sangat diperlukan untuk mendorong pencapaian target tersebut yang salah satunya dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan politik anggaran dan regulasi. Menurut Carmelita Hartoto, Ketua Umum Indonesia Nation Shippowner Association, target penerimaan pajak dan bea cukai hanya 40,3 persen. Target tersebut sulit dicapai mengingat kondisi ekonomi dunia yang masih belum membaik dan kondisi pertumbuhan ekonomi dalam negeri juga masih melambat. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyatakan kondisi riil penerimaan negara perpajakan selama 4 tahun terakhir tidak pernah mencapai target yang telah ditetapkan. Dimana realisasi pencapaian penerimaan perpajakan dari tahun 2011 sampai 2014 menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak pernah mencapai 100 persen penerimaan pajak.   Total Penerimaan dan Realisasi Perpajakan Negara Tahun 2011-2014 Total penerimaan perpajakan nasional tahun 2011 sebesar Rp.878,7 triliun, sementara itu pada tahun yang sama realisasi total penerimaan pajak nasional hanya sebesar Rp.873.9 triliun. Hal ini berarti realisasi total penerimaan perpajakan nasional yang dilakukan oleh DJP mencapai 99,5 persen. Sedangkan untuk tahun 2012 nilai realisasinya mencapai 96,5 persen dan nilai realisasi ini mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 93,8 persen. Sementara itu, realisasi penerimaan perpajakan tahun 2014 juga terus mengalami penurunan menjadi 92 persen. Menurunnya realisasi penerimaan tersebut disebabkan beberapa permasalahan, yaitu: (1) Otoritas perpajakan yang masih lemah, baik dari sisi kemampuan penjangkauan wajib pajak maupun dari sisi inovasi kebijakan perpajakan; (2) Lemahnya sistem perencanaan dan implementasi otoritas perpajakan; (3) Tingginya praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak oleh wajib pajak (WP) orang pribadi dan badan; dan (4) Terjadinya goncangan dari sisi neraca perdagangan yang berdampak pada depresiasi mata uang rupiah yang menyebabkan munculnya kebijakan fiskal untuk menjaga keseimbangan makro ekonomi dan menyebabkan pemerintah mengeluarkan insentif perpajakan. Kondisi perpajakan nasional pada tahun 2014 mengalami shortfall sebesar Rp.91,2 triliun dengan pertumbuhan penerimaan hanya mencapai 6,65 persen-jauh dari rerata pertumbuhan alamiah sekitar 15 persen. Jika diukur dengan nisbah bouyancy (elastisitas penerimaan terhadap pertumbuhan ekonomi), penerimaan perpajakan sejak tahun 2012 mengalami kecenderungan menurun. Artinya kapasitas institusi perpajakan dalam memungut pajak semakin menurun. Stagnasi pemungutan pajak juga ditunjukkan dengan tax coverage ratio (kemampuan memungut potensi yang ada) yang masih berkutat di kisaran 53,8 persen. Kondisi di atas diperparah dengan rendahnya tingkat kepatuhan pajak. Pada tahun 2014, hanya 9 juta wajib pajak yang menyampaikan SPT dari seharusnya 18,4 juta wajib pajak. Dari kondisi perpajakan nasional ditambah dengan perkembangan kondisi perekonomian global, di mana pemulihan ekonomi di negara-negara maju masih terus berlangsung, namun belum pemulihan ekonomi belum seimbang antara Amerika Serikat dengan negara-negara Eropa. Membaiknya perekonomian AS secara konsisten belum diikuti dengan irama yang sama di kawasan Eropa. Bahkan, perekonomian Jepang cederung mengalami stagnasi dan kasus yang sama perekonomian Tiongkok yang mengarah pada perlambatan yang bersifat struktural. Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan kondisi perekonomian Indonesia yang masih mengalami perlambatan. Kondisi ini akan memberi dampak terhadap semakin sulitnya capaian realisasi dan kinerja perpajakan nasional. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan, cq. DJP harus bekerja keras untuk dapat mencapai target penerimaan perpajakan yang telah ditetapkan. Menyikapi gambaran realisasi pencapaian penerimaan perpajakan dari tahun 2011 sampai 2014 menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak pernah mencapai 100 persen penerimaan pajak, maka pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2015 ini lebih mentargetkan pada pencapaian penerimaan pajak penghasilan (Pph) yang berasal dari orang pribadi, sebagai penyebab utama dari menurunnya penerimaan sektor pajak negara, yang diakibatkan oleh tingginya praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak oleh wajib pajak (WP) orang pribadi dan badan, selain juga mengambil langkah-langkah kebijakan strategis di bidang perpajakan sebagai tugas utama yang harus diemban oleh Direktorat Jenderal Pajak mengantasi berbagai permasalahan penurunan penerimaan dan realisasi pajak negara yang disebabkan oleh otoritas perpajakan yang masih lemah, baik dari sisi kemampuan penjangkauan wajib pajak maupun dari sisi inovasi kebijakan perpajakan; lemahnya sistem perencanaan dan implementasi otoritas perpajakan; dan hambatan dari sisi neraca perdagangan yang berdampak pada depresiasi mata uang rupiah yang menyebabkan munculnya kebijakan fiskal untuk menjaga keseimbangan makro ekonomi dan menyebabkan pemerintah mengeluarkan insentif perpajakan. Untuk mencapai target pendapatan perpajakan optimal yang ditetapkan pada tahun 2015 ini, DJP perlu melakukan sejumlah strategi sebagai berikut: (1) penguatan dan perluasan basis data, yang dilakukan melalui perbaikan data perpajakan dengan digitalisasi SPT dan implementasi e-SPT dan e-filling, implementasi e-tax invoice secara menyeluruh dan implementasi cash register dan electronic data capturing (EDC) yang online dengan administrasi perpajakan; (2) pengawasan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP-OP) dan WP Badan dengan intensifikasi sektor unggulan melalui kegiatan himbauan dan konsultasi; (3) penegakkan hukum terhadap WP melalui penagihan aktif, blokir rekening, penyitaan aset, pencegahan ke luar negeri dan terakhir penyanderaan (gizeling); (4) kerja sama DJP dengan pihak ketiga. Kerja sama ini dapat dilakukan dalam rangka memperoleh data dan informasi transaksi ekonomi dan penegakkan hukum. Kerja sama ini dapat dilakukan dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Perdagangan, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan; (5) perbaikan regulasi terkait perpajakan dengan fokus pada penyempurnaan regulasi yang memperluas basis pajak, seperti: Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Bea Meterai, dan regulasi yang mendukung kegiatan pengawasan dan law enforcement; (6) transformasi kelembagaan dan reformasi birokrasi secara total serta reformasi mental, melalui peningkatan kapasitas dan kualitas SDM, peningkatan kapasitas teknologi informasi, perbaikan business process dan penambahan kantor DJP baru; (7) kebijakan yang sinkron antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal untuk mencapai keseimbangan ekonomi sehingga potensi ekonomi penerimaan pajak tidak hilang akibat kebijakan yang kontraproduktif; dan (8) implementasi pengampunan pajak. Langkah kongkrit yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan untuk mendukung pencapaian realisasi adalah melalui alokasi anggaran bagi peningkatan kapasitas dan kualitas DJP. Persetujuan DPR RI terhadap usulan penambahan anggaran DJP pada APBN-P Tahun 2015 sebesar Rp8,2 triliun untuk belanja modal berupa pembelian peralatan, software, pembukaan sejumlah kantor DJP baru serta remunerasi pegawai di DJP. Langkah atau strategi lain dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak orang pribadi pada tahun 2015 adalah dengan disahkannya peraturan No. 91/PMK.03/2015 (“PMK-91”) tertanggal 30 April 2015 tentang Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 4 Mei 2015. PMK-91 diterbitkan dalam rangka melakukan pembinaan terhadap Wajib Pajak (“WP”) dan untuk mendorong WP menyampaikan Surat Pemberitahuan (“SPT”), membayar atau menyetorkan kekurangan pembayaran pajak dalam SPT, serta melaksanakan pembetulan SPT di tahun 2015 sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dan membangun basis perpajakan yang kuat. Direktur Jenderal Pajak (“DJP”) atas permohonan WP dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi dalam hal sanksi administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan WP atau bukan karena kesalahannya. Strategi perpajakan ini juga didukung oleh Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxtation Analysis mengapresiasi tindakan DJP melakukan tindakan gizeling sebagai langkah awal yang positif bagi penunggak pajak, khususnya wajib pajak orang pribadi (WP-OP). untuk meningkatkan penerimaan pajak penghasilan yang berasal dari orang pribadi (perorangan). Namun, upaya ini harus konsisten untuk menimbulkan efek jera sekaligus mendorong kepatuhan wajib pajak (Mulianta, (2015). Sehubungan dengan upaya peningkatan penerimaan pajak orang pribadi maka berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang KUP, Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak 2009 akan daluwarsa penetapan pada tahun 2014, dan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak 2010 akan daluwarsa penetapan pada tahun 2015. C. Upaya-upaya Pemerintah/Negara dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak Penghasilan Perorangan (Orang Pribadi) pada tahun 2015. Menurut Ragimun (2014), selama ini Ditjen Pajak hanya lebih fokus pada Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebagai penyumbang terbesar penerimaan negara. Padahal negara maju seperti Amerika Serikat medorong pajak penghasilan (PPh) orang pribadi sebagai sumber penerimaan terbesarnya, dengan kontribusi sebesar 47% dari total penerimaan pajak. Sedangkan di Indonesia hanya mencapai 0,4% dari total penerimaan pajak. Hal ini disebabkan Indonesia menganut self assessment system, dimana setiap individu wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang seharusnya dibayar (Ragimun. 2014). Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah atau negara Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategik dan efektif dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi, antara lain: 1) Meningkatkan Sistem Pengawasan Yang Efektif. Sebagai suatu usaha yang bersifat terus menerus untuk mengetahui apakah aktivitas-aktivitas yang telah atau sedang dilaksanakan tidak menyimpang dari kriteria-kriteria yang telah digariskan dalam rencana, apabila terjadi kesalahan atau penyimpangan maka diusahakan perbaikan, supaya kesalahan-kesalahan tersebut tidak terulang lagi. Oleh karena itu pengawasan merupakan salah satu faktor terpenting yang harus dilakukan oleh dinstansi dalam melaksanakan kegiatannya dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Karena sektor perpajakan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting dan sangat menentukan dalam menghimpun tabungan pemerintah agar nantinya dapat membiayai sendiri pembangunan tanpa tergantung pada pinjaman luar negeri. Maka untuk dapat meningkatkan jumlah penerimaan seperti yang diharapkan, hendaknya diperlukan peningkatan daripada sistem pengawasan yang telah dilaksanakan sebelumnya agar tindakan-tindakan yang dapat merugikan negara tidak akan terulangkembali, setidak-tidaknya dapat dicegah terlebih dahulu. Pengawasan yang dilakukan bukanlah semata-mata untuk mencari kesalahan dari wajib pajak yang belum kelihatan, akan tetapi tujuannya adalah untuk mengarahkan seluruh kegiatan-kegiatan dari wajib pajak terhadap kewajibannya dalam rangka pelaksanaan suatu rencana untuk dapat mencapai suatu hasil yang diharapkan sesuai dengan yang direncanakan. 2) Memberikan Pendidikan Khusus Kepada Para Pegawai. Karena disini pengawasan itu dilakukan oleh petugas perpajakan baik kepada wajib pajak maupun terhadap lingkungan perpajakan sendiri maka semakin disadari perlunya petugas-petugas yang benar-benar memiliki keahlian khusus dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dapat diwujudkan dengan jalan memberikan pendidikan khusus baik berupa kursus-kursus maupun melalui penataran-penataran kepada para petugas guna meningkatkan ketrampilan kerja mereka dalam pelaksanaan pengawasan dan tata tertib administrasi. Oleh karena itu dengan meninkatkan kualitas petugas, maka diharapkan akan dapat mencegah terjadinya penyelundupan-penyelundupan pajak oleh wajib pajak, mencegah laporan-laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, sehingga kemungkinan-kemungkinan terjadinya tindakan yang dapat merugikan terhadap penerimaan negara dapat dihindarkan. Melaksanakan kerjasama yang baik dengan masyarakat dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan wajib pajak. Yang dimaksud disni adalah mengadakan pendekatan kepada masyarakat maupun pihak-pihak lain seperti kantor perbendaharaan negara, kantor kas negara dan instansi-instansi lainnya untuk dapat melaksanakan kerjasama dalam usaha memperoleh informasi/keterangan yang berhubungan dengan wajib pajak dan sangat diperlukan oleh aparat perpajakan untuk membuktikan suatu kebenaran dari laporan-laporan yang diberikan wajib pajak. Sehingga apabila terdapat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh wajib pajak dapat segera diketahui dan dapat segera diperbaiki. Melalui kerjasama ini maka aparat perpajakan akan dapat pula mengetahui badan-badan usaha ataupun perseorangan yang potensial untuk dipungut pajaknya, agar segera memenuhi kewajibannya membayar pajak. Dengan demikian jelaslah bahwa adanya kerjasama yang baik akan mewujudkan suatu peningkatan sistem pengawasan yang efektif untuk dapat meningkatkan penerimaan dari sektor perpajakan pada umumnya dan dari sektor pajak penghasilan pada khususnya. 3) Memberlakukan Sanksi Yang Tegas. Adanya pemberlakuan atau pengenaan sanksi yang tegas oleh aparat perpajakan terhadap wajib pajak yang dengan sengaja melakukan kesalahan atau pelanggaran sehingga merugikan negara merupakan suatu tindakan yang tepat untuk dalaksanakan. Tujuan pengenaan sanksi yang tegas atau pemberian pidana disini adalah untuk maningkatkan kesadaran hukum membayar pajak dan lebih menanamkan sifat edukatif, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Oleh karen aitu dengan adanya pengenaan sanksi yang tegas diharapkan masyarakat akan menjadi sadar terhadap kewajiban yang harus dipenuhinya dan memberikan rasa tanggung jawab terhadap pelaksanaan kepercayaan yang telah diberikan kepada masyarakat. Sehingga akan berusaha tidak melakukan kesalahan didalam pengisian SPT, membuat pembukuan/laporan keuangan yang diperlukan, bertindak jujur dalam memenuhi kewajiban. Hal ini setidak-tidaknya akan dapat mencegah terjadinya penunggakan terhadap hutang pajak yang akan menghambat dalam meningkatkan jumlah penerimaannya sesuai dengan target yang telah ditetapkan 4) Memberikan Penerangan-Penerangan Kepada Masyarakat. Untuk dapat melaksanakan ketegasan sanksi dengan baik sehingga tidak merugikan para wajib pajak karena tidak mengerti tentang kesalahan yang dilakukannya, maka perlu suatu usaha yang dapat menunjang pelaksanaan daripada ketegasan sanksi, yaitu dengan memberikan penerangan kepada masyarakat dimaksudkan agar supaya masyarakat dapat mengerti sistem perpajakan yang berlaku, dan merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi. Agar pelaksanaan pengenaan sanksi benar-benar ditujukan bagi wajib pajak yang dengan sengaja melakukan kesalahan maka semakin disadari betapa pentingnya memasyarakatkan Undang-undang Perpajakn yang berlaku, yang mana hal ini merupakan tugas dari pada aparat perpajakan khususnya dan pemerintah umunya untuk memberikan penjelasan-penjelasan secara rutin kepada masyarakat atau wajib pajak tentang hal-hal yang berhubungan dengan kewajibannya sebagai wajib pajak. Penerangan tersebut adapat dilakukan melalui masmedia-masmedia yang ada, dan dapat pula melalui penyuluhan kepada masyarakat. Dengan demikian maka adanya penerangan ini akan dapat memperlancar upaya pemerintah pada umunya, untuk meningkatkan jumlah penerimaan negara dari sektor perpajakan melalui kesadaran masyarakat untuk menjadi wajib pajak yang baik.   BAB IV. KESIMPULAN. Pajak Penghasilan (PPh) adalah, iuran atau pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penghasilan pihak wajib pajak atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah dan surplusnya digunakan sebagai sumber utama untuk pembiayaan pembangunan. Subyek pajak penghasilan adalah a) orang pribadi atau perorangan, anak yang belum dewasa,orang yang berada dalam pengampunan diwakili salah seorang wali atau pengampuannya, b) warisan yang belum terbagi, diwakili salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya, c) badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), CV, BUMN, BUMD, dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, firma, dan bentuk usaha tetap (Adya, 2014). Ekstensifikasi pajak merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah wajib pajak (WP) terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak, yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, khususnya pajak penghasilan orang pribadi seperti yang diatur dalam PPh Pasal 21. Sedangkan intensifikasi pajak merupakan kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek dan subjek pajak yang telah tercatat dan terdaftar dalam administrasi Ditjen Pajak, yang bertujuan untuk menggali 2 potensi utama dari wajib pajak. Dalam upaya meningkatkan realisasi pencapaian penerimaan perpajakan pada tahun 2015,k maka pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2015 ini lebih mentargetkan pada pencapaian penerimaan pajak penghasilan (Pph) yang berasal dari orang pribadi, sebagai penyebab utama dari menurunnya penerimaan sektor pajak negara, yang diakibatkan oleh tingginya praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak oleh wajib pajak (WP) orang pribadi dan badan. Hal ini bertujuan untuk menambah jumlah Wajib Pajak orang pribadi yang terdaftar di administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Target pendapatan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan pada APBN-P tahun 2015 sebesar Rp.1.484,6 miliar. Target pendapatan negara yang berasal dari perpajakan merupakan tugas berat yang diemban Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Oleh karena itu, DJP perlu melakukan extra effort agar dapat merealisasikan penerimaan perpajakan tahun 2015. Untuk itu DPR RI perlu mendorong dan mendukung DJP dalam bentuk dukungan politik anggaran dan regulasi. Politik anggaran diperlukan untuk mendukung operasional DJP untuk mencapai target penerimaan pajak sedangkan pada saat yang bersamaan diperlukan perubahan regulasi yang mendukung perluasan basis pajak dan penguatan penegakan hukum di bidang perpajakan. Salah satunya, DPR RI bersama Pemerintah harus segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang mengenai: (1) Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, (2) Pajak Penghasilan, (3) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan (4) Bea Meterai. Sehingga target penerimaan perpajakan yang ditetapkan Pemerintah menjadi keniscayaan DAFTAR PUSTAKA Adya, Hermawati, Analisis Faktor Untuk Meningkatkan Penerimaan Pajak Penghasilan dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Penerimaan Negara, Jurnal Sains dan Manajemen (JSM), olume III, Nomor 1, April 2014. Aryobimo, Putut Tri. Pengaruh Persepsi Wajib Pajak tentang Kualitas Pelayanan Fiskus terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dengan Kondisi Keuangan Wajib Pajak, Artikel Ilmiah Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. 2012 Ginting, Mulianta. (2015). Strategi Perpajakan 2015: Kajian Terhadap Isu Aktual dan Strategis, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Volume VII, Nomor 03/I/P3DI/Februari, 2015. Gustina. C. (2013). Sensus Pajak Nasional Bantu Tingkatkan Penerimaan Negara, http://www.merdeka.com. 06 Oktober, 2013. Jatmiko, Agus Nugroho. Pengaruh Sikap Wajib Pajak pada Pelaksanaan Denda, Pelayanan Fiskus, dan Kesadaran Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Artikel Ilmiah Akuntansi Universitas Diponegoro, 2006 Markus, Muda, Perpajakan Indonesia (Suatu Pengantar), PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2005. Mardiasmo. Perpajakan, Edisi Revisi, 2009, Yogyakarta: Andi Offset, 2009 Marsyahrul, Tony, Pengantar Perpajakan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005 Purwanto. (2013). Jangkar Kegiatan Usaha, Upaya Ekstra Penggalian Potensi Pajak, Diakses 26 Oktober 2013, http://www.bppk.depkeu.go.id, Ragimun. 2014. Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Indonesia. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Resmi, Siti, Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi Keempat, Salemba Empat, Jakarta, 2009. Rohmawati, Alifa Nur. Pengaruh Kesadaran, Penyuluhan, Pelayanan, dan Sanksi Perpajakan pada Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi. Artikel Ilmiah Ekonomika dan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar, 2012 Rohmawati, Lusia, Prasetyono & Yuni Rimawati. Pengaruh Sosialisasi dan Pengetahuan Perpajakan terhadap Tingkat Kesadaran dan Kepatuhan Wajib Pajak. Artkel Ilmiah, 2013 Selvia, Abriandi. (2015). Pelaksanaan Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pajak Pada KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jurnal Bisnis dan Komunikasi: Kalbi Socio, Volume 2 No. 1 Februari 2015. Waluyo.(2010), Perpajakan Indonesia, Edisi Kesembilan, Salemba Empat, Jakarta, Pers. Waluyo. (2010), Perpajakan Indonesia, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Salemba Empat Pers. Yogatama, Arya. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi di Wilayah KPP Pratama Semarang Candisari). Artikel Ilmiah Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. 2014 Zain, Muhammad, Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta. 2003.
KEBIJAKAN PEMBIAYAAN (BUDGETING POLICY) (BUDGETING POLICY). PRINSIP-PRINSIP KEBIJAKAN PEMBIAYAAN Unsur-unsur Kebijakan Pembiayaan. Istilah Kebijakan pembiayaan (payout policy) berhubungan dengan keputusan bahwa perusahaan apakah untuk mendistribusikan uang kepada para pemegang saham, berapa besar uang yang dibagikan, dan apa tujuan dari uang yang dibagikan tersebut. Bila beberapa keputusan mungkin kurang penting dari keputusan investasi dan pilihan pembiayaan, manajer dan dewan direktur akan menggunakan keputusan pembiayaan rutin, dimana beberapa kebijakan pembiayaan tersebut dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham perusahaan. Sejalan dengan pertumbuhan perusahaan, manajer memutuskan bahwa arus kas operasi sangat memadai untuk tetap melakukan reinvestasi pertumbuhan dan pengembalian uang kepada pemegang saham. Pada kasus Best Buy, keputusan dimulai dengan mendistribusikan uang kepada para pemegang saham (shareholders) yang tidak disebabkan oleh penurunan tingkat pertumbuhan perusahaan. Selanjutnya, perubahan peraturan pajak yang sangat berpengaruh membuat dividen semakin menarik bagi para investor yang didasarkan pada keputusan pembayaran setelah setelah pajak. Trend Terhadap Laba dan Dividen. Gambar 14.1. menjelaskan tentang perubahan trend jangka panjang dan perubahan siklus Laba dan dividen yang dibayarkan oleh perusahaan Amerika Serikat sebagai anggota indeks saham S&P 500. Pertama, penelitian menyatakan bahwa Laba dan dividen jangka panjang cenderung berubah secara bersama-sama (baik pnerimaan maupun dividen). Disini menciptakan kondisi yang mendukung, perusahaan membayar dividen diluar Laba (earning), dengan demikian baik dividen maupun Laba akan mencapai pertumbuhan terus menerus dalam jangka panjang. Kedua, rangkaian Laba lebih sering mengalami perubahan dibandingkan dengan rangkaian dividen. Arah garis Laba per saham tidak merata, tetapi Laba dividen terlihat merata. Berarti bahwa perusahaan tidak menyesuaikan pembiayaan dividen pada saat Laba berubah (naik) atau menurun. Bahkan perusahaan cenderung meningkatkan dividen secara bertahap bila peneirmaan mengalami pertumbuhan pesat dan tetap mengatur pembayaran dividen, dibandingkan mengurangi dividen pada saat Laba menurun. Ketiga, bahwa pengaruh dari resesi baik pada Laba maupun dividen perusahaan menurut standar historis sangat tinggi. Dengan terjadinya penurunan Laba pada tahun 2007 hingga 2009, hal ini memaksa perusahaan untuk mengurangi dividen secara drastic, hasilnya menunjukkan bahwa penurunan dividen lebih rendah dibandingkan dengan penurunan Laba (earning). Trend Terhadap Dividen dan Pembelian Kembali Saham (Share Repurchase). Pada saat perusahaan ingin mendistribusikan uang kepada pemegang saham, merepa dapat melakukannya:apakah dengan membayar dividen atau pembeli kembali saham. Penggabungan dividen dan pembelian kembali saham dari tahun 1971 sampai 2009 untuk semua perusahaan Amerika Serikat yang terdaftar di Bursa Efek. Dari pelajaran (hikmah) Gambar 14.1. dan 14.2, kita dapat menarik tiga kesimpulan mengenai Kebijakan pembiayaan perusahaan. Pertama, perusahaan memperlihatkan keinginan yang kuat untuk mempertahankan pertumbuhan dividen yang stabil yang disesuaikan dengan pertumbuhan peneirmaan (earning) dalam jangka panjang. Kedua, Pembelian kembali saham diprediksi menurut pertumbuhan total pembiayaan (pengeluaran) uang setiap waktu. Ketiga, bila Laba berubah, perusahaan menyesuaikan pembiayaan jangka pendek melalui penyesuaian pembelian kembali saham (daripada dividen), mengurangi pembelian selama masa resesi, dan menambah divd selama ekspansi ekonomi. PROSEDUR KEBIJAKAN PEMBIAYAAN Prosedur Pembayaran Dividen. Pada pertemuan per kwartal atau enam bulanan (semi annual), Dewan direktur memutuskan apakah membayar dengan dividen kas dan berapa jumlah dividen kas yang dibayarkan. Jika pemegang saham telah menetapkan pembayaran dividen sebelumnya, keputusan yang dibuat oleh dewan direktur biasanya, apakah mempertahankan atau menambah dividen, dan keputusan ini didasarkan pada kemampuan perusahaan sekarang dan kemampuan untuk menghasilkan arus ka di masa mendatang, Dewan direktur jarang mengurangi dividen jika mereka meyakini bahwa kemampuan untuk menghasilkan kas sangat membahayakan. Pada kenyataannya, sejumlah perusahaan di Amerika Serikat menambah dividen mereka setiap tahun daru tahun 1999 hingga 2009, dari tahun 2003 hingga 2006, rasio penambahan dividen perusahaan untuk mengurangi dividen adalah 30 berbanding 1 atau diatasnya. Selanjutnya, simbol dari bahaya resesi baru-baru ini adalah bahwa pada tahun 2009 rasio ini adalah 1,5 berbanding 1. Pada tahun ini, 1.191 perusahaan menambah dividen, dan 804 perusahaan mengurangi dividen mereka. Karena waktu yang dibutuhkan untuk membuat catatan pembukuan pada saat saham diperdagangkan, saham mulai menjual ex dividend pada peirode 2 hari sebelum tanggal pencatatan. Pembeli saham ex dividend tidak menerima dividen sekarang, Cara yang mudah untuk menentukan hari pertama dimana saham ex dividend dijual adalah dengan mengurangi 2 hari kerja dari tanggal pencatatan. Tanggal pembayaran adalah tanggal actual dimana perusahaan mengirimkan pembayaran dividen kepada pemegang catatan. Biasanya dalam waktu beberapa minggu setelah tanggal pencatatan. Contoh: 1 Pada tanggal 4 Juni 2010, Dewan direktur Best Buy mengumumkan bahwa dividen kas perusahaan untuk periode empat bulan mendatang akan menjadi $0,15 per saham, yang dibayarkan kepada para pemegang saham pada tanggal 26 Oktober 2010, dan dicatat pada 5 Oktober 2010. Sebelum dividen ditetapkan, Besy Buy, perkiraan-perkiraan penting perusahaan (dalam ribuan dollar) akan mencakup sebagai berikut: Kas $1,826,000 Tagihan Dividen $ 0 Laba Ditahan $ 5,797,000 Pada saat dividen diumumkan oleh direktur, laba yang ditahan adalah $53 juta ($0,15% x 420 juta saham) yang ditransfer ke perkiraan tagihan piutang. Maka catatan penting disini akan menjadi: Kas $1,826,000 Tagihan Dividen $ 63,009 Laba Ditahan $ 5,797,000 Pada saat Best Buy membayar dividen secara actual tanggal 26 Oktober, pada neraca akan memuat catatan penting sebagai berikut: Kas $1,763,000 Tagihan Dividen $ 0 Laba Ditahan $ 5,734,000 Dari contoh 1 di atas, pengaruh nyata dari dividen dan pembayaran dividen yang ditetapkan mengurangi jumlah asset perusahaan (dan ekuitas pemegang saham) sebesar $63 juta. Prosedur Pembelian Kembali Saham. Prosedur pembayaran dividen kas pada dasarnya sama untuk setpa dividen yang dibayarkan oleh setiap perusahaan umum (public). Pada pembelian kembali saham, perusahaan dapat menggunakan sedikitnya 2 metode berbeda untuk menerima uang dari tangan pemegang saham. Metode pembelian kembali saham Pertama adalah pembelian kembali saham di pasar terbuka (open-market). Metode pembelian saham pertama adalah pembelian kembali saham pada pasar terbuka (open-market). Pada pembelian kembali saham pasar terbuka (open market), perusahaan membeli kembali saham lama (yang telah beredar) melalui pasar lelang (terbuka). Beberapa perusahaan membeli kembali saham pada jarak waktu regular, sedangkan perusahaan lainnya lebih bersikap opportunistic, membeli kembali saham bila harag saham relative rendah dan beberapa saham memiliki harga tinggi. Metode pembelian kembali saham kedua adalah self-tender offer atau tender offer. Pada metode tender offer ini, perusahaan mengumumkan harga saham, dan ingin membeli kembali saham, dan menetapkan jumlah saham yang ingin dibeli kembali. Harga untuk tender offer biasanya ditetapkan pada nilai premi yang tinggi di atas harga pasar yang berlaku. Pemegang saham yang ingin berpartisipasi sering menjual kembali saham kepada perusahaan pada harga yang ditetapkan. Jika pemegang saham tidak menjual kembali beberapa sahamnya yang akan dibeli oleh perusahaan, perusahaan mungkin membatalkan atau memperpanjang penawaran. Berarti bahwa pemegang saham ingin menjual banyak saham dari yang ingin dibeli kembali oleh perusahaan. Metode pembelian saham ketiga adalah Dutch Auction. Pada metode ini, perusahaan menetapkan kisaran harga saham dan jumlah saham yang akan dibeli. Investor dapat melakukan tender saham mereka kepada perusahaan pada harga yang ditetapkan, dan disini memungkinkan perusahaan untuk menjajaki kurva permintaan saham mereka. Selanjutnya, kurva saham ini menetapkan berapa banyak saham investor yang akan dijual kembali kepada perusahaan pada kisaran harga yang ditawarkan. Disini memungkinkan perusahaan untuk menetapkan harga saham terendah (minimum), dan jumlah saham yang akan dibeli kembali, dan setiap pemegang saham menetapkan harga. Perlakuan Pajak Untuk Dividen an Pembelian Kembali Pajak. Selama beberapa tahun, dividen dan pembelian kembali saham memiliki konsekuensi pengenaan pajak yang sangat berbeda. Dividen yang diterima investor biasanya dikenakan pajak pada tariff pajak penghasilan biasa. Maka, jika perusahaan membayar dividen senilai $10 juta, pembayaran ini akan dikenakan hutang pajak yang sangat tinggi bagi pemegang saham perusahaan (khususnya untuk pajak pribadi). Di sisi lain, bila perusahaan membeli kembali saham, pajak akan dikenakan untjuk jenis pembayaran ini lebih rendah. Terdapat beberap alasan terhadap masalah ini. Hanya beberapa pemegang saham yang menjual saham mereka sebagai bagian dari program pembelian kembali saham yang dikenakan hutang pajak potensial. Pemegang saham yang tidak berpartisipasi tidak dikenakan kewajiban atau hutang pajak. Rencana Reinvestasi Dividen. Sekarang, beberapa perusahaan menawarkan program reinvestasi dividen (DRIPs), yang memungkinkan pemegang saham untuk menggunakan dividen yang diterima untuk membeli saham tambahan – atau juga saham pecahan yang tidak dikenakan biaya transaksi. Beberapa perusahaan membolehkan para investor untuk melakukan pembelian saham perusahaan secara langsung dari perusahaan tanpa perantara atau broker. Pada program reinvestasi dividen (DRIPs), para peserta biasanya dapat membeli saham sekitar 5 persen dibawah harga pasar yang berlaku. Berdasarkan sudut pandang (perspektif) ini, perusahaan dapat menerbitkan saham baru untuk berpartisipasi lebih ekonomis, menghindari harga dibawah standar (underpricing) dan penyipangan biaya yang dikenakan dalam penjualan saham baru kepada public. Reaksi Harga Saham Terhadap Pembiayaan Perusahaan. Apa yang terjadi dengan harga saham bila perusahaan membayar dividen atau membeli kembali saham? Menurut teori, jawaban untuk beberapa pertanyaan ini sangat mudah. Contoh untuk pembayaran pembayaran dividen, misalnya, perusahaan memiliki asset senilai $1 miliar, yang dibiayai oleh 10 juta saham biasa. Setiap saham akan ditetapkan dengan nilai$100 (S1 miliar ÷ 10 juta saham biasa). Sekarang, misalnya: perusahaan membayar $1 dividen kas per saham, untuk nilai dividen keseluruhan sebesar $10 juta. Asset perusahaan turun menjadi $990 juta. Karena saham yang beredar tetap bernilai 10 juta, dan setiap saham yang ditetapkan pada harga $99. Dengan kata lain, harga saham turun sebesar $1 dari jumlah dividen yang ada. Penurunan harga saham ini menggambarkan bahwa setiap uang yang dikeluarkan perusahaan sebelumnya berada di tangan para investor. Tepatnya, pengurangan harga saham tidak hanya terjadi [ada saat check dividen dikirikan, tetapi juga terjadibila saham mulai menjual ex dividend. RELEVANSI KEBIJAKAN PEMBIAYAAN Kepustakaan mencatat sejumlah teori dab hasil penelitian empiris mengenai Kebijakan pembiayaan. Meskipun penelitian ini memberikan beberapa pemahaman yang menarik mengenai kebijakan pembiayaan, keputusan anggaran modal dan struktur modal yang dianggap sangat lebih penting dari keputusan pembiayaan. Dengan kata lain, perusahaan tidak harus mengorbankan keputusan investasi dan pembiayaan yang tepat untuk kbh pembiayaan dengan kepentingan yang meragukan (questionable importance). TEORI DIVIDEN RESIDUAL Teori dividen residual (residual theory of dividend) merupakan gagasan sebuah sekolah yang menyatakan bahwa dividen yang dibayarkan oleh perusahaan harus disebut sebagai residual (sisa) – yaitu jumlah diabaika setelah semua kesempatan investasi yang diterima telah diselesaikan. Dengan metode ini, perusahaan akan memperlkakukan keputusan dividen melalui 3 tahap berikut: Tahap 1: Menetapkan nilai anggaran modal optimal, yang akan menjadi nilai anggaran yang memanfaatkan semua proyek-proyek NPV positif perusahaan. Tahap 2: Menggunakan proporsi struktur modal optimal, memprediksi jumlah pembiayan ekuitas keseluruhan yang dibutuhkan untuk mendukunganggaran yang dikeluarkan pada Tahap 1. Tahap 3: Karena biaya laba yang ditahan kurang dari biaya saham biasa (common stock) baru, penggunaan laba yang ditahan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pada Tahap 2. Jika laba yang ditahan tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan, penjualan saham biasa yang baru. Jika laba ditahan yang ada melebihi dari yang dibutuhkan, mendistribusikan kelebihanjumlah teb sebagai “dividen residual”.. Menurut pendekatan ini, jika ekuitas modal perusahaan melebihi jumlah laba yang ditahan (retained earnings), tidak terdapat dividen kas yang dibayarkan. Argumen untuk pendekatan ini adalah bahwa manajemen yang andal meyakini bahwa perusahaan memiliki uyang yang dibutuhkan untuk bersaing secara efektif. TEORI KETIDAKSESUAIAN (IRRELEVANCE) DIVIDEN Dividen residual menyatakan bahwa jika perusahaan tidak dapat menginvestasikan labanya untuk mendapatkan nilai pengembalian yang melebihi biaya modal, perusahaan harus mendistribusikan laba melalui pembayaran dividen kepada para pemegang saham. Pendekatan ini menyatakan bahwa dividen menyatakan laba residual dibandingkan dengan perubahan keputusan aktif keoytusan yang mempengaruhi nilai perusahaan. Pendapat tersebut sesuai dengan teori irrelevansi dividen yang dikemukakan oleh Merton H. Miller dan Franco Modigliani (M & M), yang menyatakan bahwa nilai perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan laba dan resiko asset (investasinya) yang membagi gelombang penerimaan laba antar5a dividen dan laba modal yang direinvestasi secara internal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Teori M dan M menyatakan bahwa di dunia yang sempurna (biaya transaksi selain pajak, dan tidak terdapat pasar lain yang tidak sempurna), nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh pembagian (distribusi) dividen. Sebagai kesimpulan, Teori M&M dan para pendukung teori irrelevansi dividen menyatakan, bahwa semua hal memiliki kesamaan dalam pengembalian yang dibutuhkan investor, dan karenanya nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh kebijakan dividen. Dengan kata lain, tidak terdapat “kebijakan dividen optimal” untuk perusahaan tertentu. ARGUMEN TENTANG RELEVANSI (KESESUAIAN) DIVIDEN Modigiliani dan Miller menambahkan bahwa kebijakan dividen yang tidak relevan (tidak sesuai) merupakan ide radikal pada saat kebijakan ini diajukan pertama kali. Kebijakan yang berlaku pada saat itu adalah apakah kebijakan pembiayaan dapat memperbaiki nilai perusahaan, dan selanjutnya kebijakan tersebut relevan (sesuai). Alasan utama dalam mendukung teori relevansi dividen dikemukakan oleh Myron J. Gordon dan John Lintner, yang menyatakan bahwa hubungan langsung antara kebijakan dividen perusahaan dengan nilai pasarnya. Hipotesis atau proposisi ini disebut sebagai argument bird-in-the hand argument (burung di tangan), yang menyatakan bahwa investor memandang dividen sekarang sebagai dividen yang kurang beresiko dibandingkan dengan dividen atau laba modal di masa mendatang. Modigliani dan Miller menambahkan bahwa teori the bird-in-the hand keliru. Mereka menyatakan bahwa para investor yang menginginkan arus kas secepatnya dari perusahaan yang tidak dapat membayar dividen dapat menjual porsi saham mereka. Ingat, harga saham perusahaan yang labanya ditahan akan naik setiap waktu, sejalan dengan penghimpunan arus kas internal perusahaan. Melalui penjualan beberapa saham per kwartal atau setiap tahun, para investor dapat mereplikasi (memperbanyak) gelombang arus kas yang sama yang akan mereka terima jika perusahaan membayar dividen, dibandingkan dengan jika perusahaan mempertahankan laba. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN PEMBIAYAAN Pemaksaan Hukum (Legal Constraint). Sebagian negara melarang pembayaran dividen kas menurut porsi biaya hukum perusahaan, yang biasanya diukur menurut nilai pari (par value) dari saham biasa. Negara-negara lainnya menetapkan biaya hukum (legal capital) tidak hanya mencakup nilai parir (par value) saham biasa, tetapi juga termasuk biaya yang dibayarkan atas kelebihan nilai pari saham. Beberapa pengetatan terhadap ketidakmampuan biaya ditetapkan untuk menyediakan ekuitas yang memadai untuk melindungi terhadap klaim (tuntutan) kreditor. Jika perusahaan lalai dalam memenuhi kewajibannya atau memiliki ketidaksanggupan membayar secara hukum atau mengalami kebangkrutan, sebagian Negara melarang pembayaran dalam bentuk dividen uang (kas). Selanjutnya, the Internal Reserve Service (IRS) melarang perusahaan untuk menggabungkan (mengakumulasi) laba untuk mengurangi pajak pemilik. Jika IRS menentukan bahwa perusahaan mengakumulasikan kelebihan laba, dan membolehkan pemiliknya menunda pembyaran pajak penghasilan atas penerimaan dividen, perusahaan mungkin akan dikenakan pajak atas kelebihan pajak penggabungan laba untuk laba tertaha (retained earnings) di atas $250,000 yang berlaku untuk sebagian besar bisnis. Pemaksaan Kontrak (Contract Constraint). Seringkali kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai (kas) dipaksakan oleh persyaratan perjanjian pinjaman yang sangat ketat. Biasanya, beberapa pemaksaan ini mengambat pembayaran dividen kas setelah perusahaan mendapai tingkat laba tertentu, atau mungkin membatasi nilai dollar dividen atau persentase laba dividen tertentu. Pemaksaan terhadap dividen ini membantu melindungi kreditor dari kerugian yang disebabkan oleh kebangkrutan atau ketidaksanggupan membayar perusahaan. Prospek Pertumbuhan. Kebutuhan pembiayaan perusahaan berhubungan langsung dengan seberapa besar pertumbuhan biaya yang diharapkan dan apa saja asset-asset yang dibutuhkan. Perusahaan harus menilai profitabilitas (laba) dan risikonya untuk mengembangkan pemahaman mengenai kemampuan perusahaan untuk menambah modal (pembiayaan) secara eksternal. Selanjutnya, perusahaan harus menetapkan biaya dan kecepatan dalam memperoleh pembiayaan. Biasanya, perusahaan besar dan telah matang memiliki akses modal (biaya) baru yang memadai, sementara itu perusahaan dengan pertumbuhan pesat mungkin tidak memiliki moal (pembiayaan) yang ada untuk mendukung proyek-proyek yang layak. Perusahaan yang sudah tumbuh mungkin tergantung pada pada pembiayaan internal melalui laba yang ditahan (retained earning), maka perusahaan mungkin membayar laba untuk dividen dengan persentase yang sangat kecil. Perusahaan yang sudah lama berperasi dengan posisi yang lebih baik membayar dividen dengan porsi laba yang lebih besar, khususnya jika perusahaan memiliki sumber pembiayaan yang stabil. Pertimbangan-Pertimbangan Pemilik (Owner). Perusahaan harus membuat kebijakan yang memiliki pengaruh besar terhadap kemakmuran mayoritas pemilik. (1) Pertimbangan pertama adalah status pajak pemilik perusahaan. Jika perusahaan memiliki persentase kemakmuran pemegang saham yang sangat besar dan penerimaan yang dapat diukur, perusahaan mungkin memutuskan untuk membayar laba dengan persentase rendah dan memungkinkan pemilik (owner) untuk menunda/menanggiuhkan pembayaran pajak setelah perusahaan menjual sahamnya. (2) Pertimbangan kedua adalah kesempaan investasi pemilik. Perusahaan tidak boleh mempertahankan biaya investasi untuk proyek dengan nilai pengembalian yang rendah, bilamana pemilik dapat memperoleh investasi eksternal dengan resiko yang sama. Jika ternyata bahwa pemilik memiliki kesempatan terbaik secara eksternal, perusahaan akan membayar persentase laba yang lebih tinggi. Jika kesempatan investasi perusahaan sebanding dengan resiko eksternal yang ada, maka pembayuaran laba akan semakin rendah. (3) Pertimbangan ketiga adalah penurunan kemampuan (potensi) kepemilikan. Jika perusahaan membayar persentase laba yang tinggi, modal atau pembiayaan ekuitas akan ditambahkan dengan saham biasa. Hasil dari penerbitan saham baru mungkin dapat mengurangi pengawasan dan laba bagi pemilik. Melalui pembayaran laba dengan persentase renah, maka perusahaan dapat meminimisir (memperkecil) kemungkinan terjadinya penipisan (penurunan) kepemilikan tersebut. (4) Pertimbangan-pertumbuhan Pasar. Satu teori baru-baru ini yang digunakan untuk menjelaskan keputusan pembiayaan perusahaan adalah teori pemenuhan pesanan (catering theory). Menurut teori ini, investor menuntut perubahan (fluktuasi) dividen setiap waktu. Contoh: selama ledakan ekonomi yang disertai dengan naiknya harga saham, investor mungkin lebih tertarik pada saham yang menawarkan keuntungan modal prospek yang sangat besar. Pada saat resesi ekonomi, dan harga saham turun, investor lebih menyukai saham dividen. Teori catering menyatakan bahwa perusahaan lebih sering menggunakan pembiayaan dividen atau menambah pembiayaan (modal) yang ada bila investor memperlihatkan preferensi (minat) yang kuat terhadap dividen. Maka perusahaan memenuhi pesanan terhadap preferensi investor. JENIS-JENIS KEBIJAKAN PEMBIAYAAN. Kebijakan dividen perusahaan harus dirumuskan melalui dua tujuan dasar yang tepat: menyediakan pembiayaan yang memadai dan pemaksimalan kemakmuran dari pemilik perusahaan. Kebijakan Dividen dengan Rasio-Pembiayaan Tetap. Jenis kebijakan dividen ini melibatkan menggunakan rasio pembiayaan konstan (tetap). Rasio pembiayaan dividen menyatakan persentase setiap dollar yang didapatkan, yang dibagikan (didistribusikan) perusahaan kepada pemilik dalam bentuk uang (kas). Rasio dividen ini dihitung dengan cara membagi dividen tunai perusahaan per saham dengan laba per saham. Pada kebijakan rasio dividen dengan pembiayaan tetap (constant-payout-ratio dividend), perusahaan menetapkan bahwa persentase laba yang dibayarkan kepada pemilik (owner) untuk setiap periode dividen. Masalah yang berkaitan dengan kebijakan ini adalah bahwa laba perusahaan menurun atau jika terjadi kerugian pada periode yang ditetapkan, dividen mungkin rendah atau sama sekali tidak ada. Karena dividen sering dianggap sebagai indikator kondisi perusahaan di masa mendatang dan sebagai indikator status perusahaan, maka dividen dapat menempatkan pengaruh negatif pada harga saham perusahaan. Kebijakan Dividen dengan Rasio-Pembiayaan Rutin (Regular). Jenis kebijakan dividen ini didasarkan pada pembayaran dividen dengan nilai dollar tetap pada setiap periode. Perusahaan yang sering menggunakan kebijakan ini meningkatkan dividen tetap (regular) setelah terjadi peningkatan laba perusahaan terus menerus. Berdasarkan kebijakan ini, dividen hampir tidak pernah menurun. Seringkali, kebijakan dividen regular (tetap) dibentuk dengan menggunakan rasio pembiayaan dividen target (target-dividend-payout ratio). Berdasarkan kebijakan ini, perusahaan berupaya membayar persentase laba tertentu, namun karena dbd ini mengalami perubahan (fluktuasi), maka pembayarannya ditetapkan dengan nilai dolar dan penyesuaian dividen untuk pembiayaan target disesuaikan bila terjadi penambahan laba (earnings). Contoh: Woodrad Laboratories memiliki rasio pembiayaan target sekitar 35 persen. Pembiayaan yang ditetapkan adalah 35% (S1.00 ÷ #2.85) pada saat kebijakan dividen ditetapkan tahun 2001, dan pada saat dividen naik $1.50 pada tahun 2010, maka rasio pembiayaan tersebut adalah seklitar 33% ($1.50 ÷$4.60). Kebijakan Dividen Tetap dan Tambahan Yang Rendah. Beberapa perusahaan menetapkan kebijakan dividen Tetapdan Tambahan yang rendah (low-regular-and-extra dividend policy) membayar dividen regular (tetap) yang rendah, didukung dengan dividen tambahan (ekstra) pada saat laba (earnings) tinggi dibandingkan pada periode laba normal yang ditetapkan. Disebut sebagai dividen tambahan (extra), karena perusahaan mengabaikan prediksi bahwa dividen meningkat secara permanen (tetap). Kebijakan ini sudah umum diantara perusahaan yang mengalamai perubahan siklus laba (earnings). Pada kebijakan dividen regular (tetap) dividen dibayarkan setiap periode, perusahaan memberikan penerimaan yang stabil kepada para investor, yang bertujuan untuk membentuk kepercayaan pada perusahaan, dan dividen ekstra (tambahan) mengharuskan perusahaan untuk membagi laba (earnings) pada periode waktu yang tepat. Perusahaan yang menggunakan kebijakan ini harus meningkatkan nilai dividen regular (tetap setelah terjadi peningkatan laba. Dividen tambahan (extra) tidak boleh dilakukan secara regular, hal ini dapat menyebabkan dividen tambahan tidak berguna. Penggunaan rasio pembiayaan dividen target dalam penentuan nilai dividen regular (tetap) sangat dianjurkan. JENIS-JENIS DIVIDEN LAIN (1) DIVIDEN SAHAM. Dividen saham (stock dividend) adalah pembayaran dividen kepada pemilik yang ada dalam bentuk saham. Perusahaan sering membayar dividen sebagai penggantian untuk menyesuaikan dividen uang (kas). Pada dividen saham, investor menerima saham tambahan menurut proporsi saham yang mereka miliki. Dalam hal ini tidak terdapat pembagian uang, dan tidak terdapat nilai nyata (real value) yang ditransfer dari perusahaan kepada investor. Dikarenakan jumlah saham sangat meningkat, maka penurunan harga saham disesuaikan dengan jumlah dividen saham yang ada. Aspek-aspek Akuntansi. Menurut istilah akuntansi, pembayaran dividen saham merupakan pemisahan biaya antara perkirana ekuitras pemegang saham dibandingkan sebagai arus biaya keluar (outflow of fund). Pada saat perusahaan menetapkan dividen, prosedur mengenai pengumuman dan pembagiannya adalah sama dengan dividen tunai yang ditetapkan sebelumnya. Data akuntansi yang berhubungan dengan pembayaran dividen saham dibedakan menurut ukruannya. Dividen saham biasa (kecil) adalah dividen saham yang mewakili kurang dari 20% hingga 25% saham biasa pada saat dividen ditetapkan. Dividen saham biasa (kecil) ini merupakan jenis dividen sahamyg sudah umum. Contoh: Ekuitas pemegahng saham yang disajikan pada Neraca Garrison Corporation memuat perkiraan sebagai berikut: Saham Istimewa (Preferen) $ 300,000 Saham biasa (100.000 saham dengan nilai pari $4) 400,000 Modal yang dibayarkan atas kelebihan nilai Pari 600,000 Laba yang ditahan (retained earning) 700,000 ------------ (+) Jumlah ekuitas pemegang saham $ 2,000,000 Dari contoh Neraca di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah ekuitas pemegang saham perusahaan tidak berubah, disini terlihat adanya perubahan biaya yang terjadi pada perkiraan ekuitas pemegang saham. Perspektif Pemegang Saham (Shareholders). Pemegang saham yang menerima dividen saham biasanya tidak menerima suatu manfaat. Setelah dividen dibayarkan, nilai per saham dari saham milik pemegang saham berkurang menurut proporsi dividen. Menurut cara ini, nilai pasar atau jumlah kepemilikan dalam perusahaan tidak berubah. Selanjutnya, dividen saham tidak dikenakan pajak. Proporsi kepemilikan dari pemegang saham dalam perusahaan tetap sama, dan selama laba (penerimaan) perusahaan tidak berubah, maka bagian sahamnya didasarkan pada jiumlah laba (total earning). Bila laba dan dividen saham perusahaan meningkat pada saat penerbitan dividen, maka menghasilkan kenaikan nilai saham pemegang saham. Perspektif Perusahaan. Penerbitan dividen saham lebih mahal daripada dividen kas, hal ini didasarkan pada beberapa manfaat dari beberapa biaya. Perusahaan menggunakan dividen saham sebagai cara untuk memberikan sesuatu kepada pemilik tanpa menggunakan uang (kas). Biasanya, bila perusahaan membutuhkan kas cadangan untuk membiayai pertumbuhan yang pesat, perusahaan menggunakan dividen saham. Bila pshj mengetahui bahwa perusahaan mereivestasi arus kas untuk memaksimalkan penerimaan masa mendatang, nilai pasar perusahaan harus tidak berubah. Selanjutnya, jika dividen saham dibayarkan untuk mempertahankan kas dalam memenuhi tagihan-tagihan sebelumnya, disini menyebabkan penurunan nilai pasar. (2) PEMBAGIAN SAHAM. Meskipun bukan sebagai jenis dividen , pembagian saham (stock split) memiliki pengaruh terhadap harga saham perusahaan seperti halnya dividen saham. Stock split adalah metode yang sudah umum digunakan untuk harga saham perusahaan yang rendah melalui penambahan jumlah saham kepada setiap pemegang saham. Contoh: pada metode pembagian saham 2-for-1 split, dua saham baru ditukar dengan satu saham lama, dimana setiap satu saham baru memiliki nilai separuh dari saham lama. Pembagian saham (stock split) tidak berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan dan biasanya metode stock split tidak dikenakan pajak. Pembagian saham mungkin dapat dilakukan melalui cara yang diinginkan. Seringkali pembagian saham dengan metode kebalikan (reverse stock split) digunakan. Perusahaan menukar beberapa saham yang beredar (saham lama) dengan satu saham baru. Pada metode pembagian pemisahan 1-for-3 split, satu saham baru ditukar dengan 3 tiga saham lama. Pada metode pemisahan reverse (kebalikan), harga saham naik disebabkan oleh pengurangan saham yang lama (yang telah beredar). Perusahaan melakukan metode reverse split jika harga saham rendah, dan melakukan pertukaran saham lama dengan saham baru bila terdapat ancaman terhadap penghapusan saham tersebut.   KESIMPULAN. (1) Kebijakan pembiayaan berhubungan dengan arus kas yang dibagikan oleh perusahaan kepada pemegang saham biasa. Saham biasa memberikan hak kepada pemiliknya untuk meneirma semua dividen masa mendatang. Nilai sekarang untuk semua dividen masa mendatang diperkirakan melebihi dari nilai saham yang ditetapkan oleh perusahaan. (2) Pembiayaan prsjh tidak hanya mewakili arus kas untuk pemegang saham, tetapi juga memuat informasi yang bermanfaat mengenai kinerja perusahaan sekarang dan di masa mendatang. Informasi tersebut mempengaruhi persepsi pemegang saham mengenai risiko perusahaan. Perusahaan juga dapat membayar dividen saham, menggunakan metode pembagian saham (stock split) atau membeli kembali saham. Semua kegiatan yang berhubungan dengan dividen dapat mempengaruhi risiko, pengembalian dan nilai perusahaan yang disebabkan oleh arus kas dan kapasitas informasinya. (3) Meskipun teori tentang relevansi dividen masih digunakan, perilaku sebagian perusahaan dan pemegang saham menyatakan bahwa kebijakan pembiayaan mempengaruhi harga saham. Oleh karena itu manajer mencoba untuk mengembangkan dan melaksanakan kebijakan dividen yang disesuaikan dengan tujuan pemaksimalan harag saham perusahaan. >>> Terima bantu penyelesaian makalah, skripsi, thesis, disertasi, olah data SPSS, SEM, AMOS untuk semua jurusan (fakultas) kecuali Teknik <<<

Selasa, 24 November 2015

AKUNTANSI KREATIF (CREATIVE ACCCOUNTING) STRATEGI/METODE AKUNTANSI KREATIF DAN PENGGELAPAN Terdapat banyak metode akuntansi kreatif berbeda. Beberapa diantaranya memiliki hubungan yang erat dengan akuntansi. Setiap perangkaty akuntansi terdiri dari perkiraan penerimaan, pengeluaran, asset, hutang, dan ekuitas yang berbeda. Untuk setiap perkiraan yang berbeda akan membutuhkan kebijakan akuntansi. Robert Townsend (1970) mengatakan “Cara termudah menipu investor (atau diri anda) adalah dengan merubah satu unsur akuntansi setiap bulan. Selanjutnya, anda dapat mengatakan, “Hal ini tidak dapat dibandingkan dengan bulan atau tahun sebelumnya, dan kami tidak dapat menarik kesimpulan dari catatan ini”. Konsep kesesuaian akuntansi mengatur batasan ini, namun tidak membatasi kemampuan perusahaan untuk melakukan hal ini. • Terdapat tiga laporan keuangan penting dalam perkiraan perusahaan yaitu laporan keuangan (disebut perkiraan laba dan rugi), neraca (disebut laporan posisi keuangan), dan laporan arus kas. Dari ketiga laporan tersebut memuat tujuan yang berbeda bagi para akuntan kreatif. • Pada laporan keuangan, tujuan utamanya adalah untuk merubah catatan laba. Jika tujuannya adalah untuk memompa laba, maka penerimaan meningkat dan laba berkurang. Jika laba dikurangi, maka perlu dikurangi dan pengeluaran ditingkatkan. neraca, Tujuan neraca adalah adalah untuk meningkatkan laba bersih perusahaan. Disini dapat dilakukan dengan menambah asset dan mengurangi hutang. Sedangkan laporan arus kas bertujuan utuk meningkatkan arus kas melalui pembiayaan arus kas lain. Pada situasi ini, akuntansi arus kas kreatif sangat sulit dicapai dibandingkan dengan penciptaan laba yang kreatif. Kas sulit dihasilkan dibandingkan dengan laba. • Pada beberapa kasus, penggelapan (penyalahgunaan) dapat dilakukan dengan akuntansi kreatif. Terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan: pembuatan catatan-catatan fiktif dan penggelapan (penyaahgunaan)asset. Demikian halnya deg akuntansi kreatif, terdapat sejumlah penggelapan atau penyalahgunaan potensial yang berbeda. PRINSIP-PRINSIP DASAR. Terdapat lima prinsip akuntansi dasar untuk penerapan akuntansi kreatif yaitu: 1. Meningkatkan Penerimaan (Income). Salah satu caranya adalah dengan peningkatan laba. Menurut strategi ini, penjualan atau penerimaan lain perlu ditingkatkan. 2. Mengurangi Biaya (Expenses). Terdapat 2 cara penting untuk peningkatan laba. 2 Cara tersebut sebagai sub-strategi yang penting yaitu: (1) mengurangi biaya/pengeluaran (expenses), dan (2) Mengurangi (menghemat) biaya dan menambah asset pada waktu yang sama. 3. Meningkatkan Asset. Cara pertama adalah dengan meningkatkan laba bersih perusahaan. 4. Mengurangi Hutang. Cara kedua adalah meningkatkan laba bersih perusahaan. 5. Meningkatkan Arus Kas. Apakah melalui peningkatan penerimaan operasional kas atau melalui pengurangan biaya operasional kas. SIFAT AKUNTANSI KREATIF. Bersumber dari akuntansi simetris dasar, dimana debet harus sama dengan kredit. Sebagai hasilnya, istilah akuntansi debet sama dengan kredit. Debet memuat biaya-biaya dan asset, ddk kredit memuat penerimaan, hutang, dan modal. Disini dapat dinyatakan dengan 2 rumus berikut ini: (Rumus 1: DEBET = KREDIT; dan Rumus 2 adalah Asset dan Biaya = Penerimaan, Hutang, dan Modal Setiap transaksi akuntansi memuat debet dan kredit. Maka, jika bisnis menjual produk seharga 100 Pound Sterling, hasilnya harus sama baik di debet maupun kredit. Dalam hal ini, kas di debet (akan bertambah(, dan disesuaikan dengan nilai nilai penjualan sebesar 100 Poundsterling sebagai penerimaan (ditempatkan di kredit). Akuntansi simetris dasar dapat membantu bagi para akuntan kreatif yaitu memberikan kemudahan dalam merubah unsur-unsur dasar. PENERAPAN STRATEGI AKUNTANSI KREATIF. STRATEGI 1. MENINGKATKAN PENERIMAAN (INCOME). Peningkatan penerimaan dapat dilakukan dengan cara: (1) Penentuan nilai penjualan sebelum waktunya (sebelum jatuh tempo). Disini merupakan jenis akuntansi kreatif yang sudah umum, yang bersumber dari pertanyaan dasar: kapan menjual? Semakin kompleks (rumit) suatu bisis, maka semakin sulit untuk menetapkan nilai penjualan.Bila ternyata bahwa arus kas aktual tidak dapat dijadikan sebagai kinerja perusahaan yang memadai, maka sebagai cara kreatif perusahaan harus membuka pintu lebar-lebar dalam mendukung kebijakan penjualannya. Jika perusahaan dapat menyesuaikan nilai penerimaan yang rasional, yaitu kebijakan penerimaan yang didasarkan pada kebebasan penuh (carte blanche) sesuai yang diinginkan dan lebihj memungkinkan. (2) Meningkatkan bunga piutang (tagihan). Satu sumber penerimaan perusahaan adalah bunga dari investasi seperti saham atau rekening bank sebagai asset tetap yang memadai. Contoh, Pollye peck menghadapi ketidaksebandingkan nilai mata uang yang disebabkan oleh tingginya penerimaan piutang. Kemudian menggunakan pinjaman dalam mata uang franc Swiss, dimana mata uang franc Swiss memiliki nilai tukar yang sangat kuat dengan suku bunga rendah. Selanjutnya Pollye Peck menginvestasikan uangnya di bank Turki, dimana mata uang dinar Turki nilai tukarnya sangat lemah. Dengan demikian kompensasi yang dibayarkan perusahaan sangat tinggi disebabkan suku bunga yang tingggi. Sebagai akibatnya, laporan penerimaan Polly Peck terlihat baik. Perusahaan menerima 68,1 juta poundsterling dari hasil investasinya di Turki. Selanjutnya laba meningkatkan sebesar 12,5 juta poundsterling. Selanjutnya mata uang dinar Turki diapreasikan ke dalam mata uang franc Swiss. Sebagai akibatnya, modal yang tercatat pada meracanya merugi sebesar 44,7 juta poundsterling. Hal ini juga disebabkan karena uangnya tersimpan di Turki dan tidak dapat ditransfer ke Inggris. (3) Memasukkan laba non-operasional. Biasanya para analis lebih tertarik dengan laba bisnis (trading profit)) dibandingkan dengan laba non-bisnis (non-trading). Perusahaan seringkali mencoba untuk memasukkan laba wajar mereka dari one-off sales atau labanya, yang dalam prakteknya dapat digunakan untuk mencatat asset tetap dibawah nilai buku mereka, sehingga pada saat dijual labanya dapat dibukukan (dicatat). (4) Menetapkan hutang sebagai penjualan. Pinjaman (hutang) dan penjualan merupakan aspek yang sangat berbeda. Pinjaman sebagai penerimaan, dan penjualan sebagai liabilitas. Bila keduanya ditempatkan pada kredit, maka akan terdapat ruang untuk para akuntan kreatif untuk memperlakukan (menempatkan) hutang sebagai penerimaan. (5) Pertukaran/Barter (Swap). Pada dasarnya, Swap (barter) dilakukan bilamana perusahaan melakukan pertukaran produk satu sama lain. Swap merupakan cara yang berbahaya menurut konsep peraturan yang ditetapkan. Pada dasarnya, swap dilakukan bilamana dua perusahaan melakukan pertukaran produk dan selanjutnya menempatkannya sebagai penjualan. Dalam suatu bisnis, beberapa manajer yang kreatif mencoba menegaskan bahwa swap merupakan transaksi penjualan yang actual. Pada industri telekomunikasi swap merupakan kegiatan yang sudah umum. STRATEGI 2: PENURUNAN (PENGHEMATAN) BIAYA Strategi kedua dapat dilakukan melalui: (1) Menggunakan spesifikasi (persyaratan) akuntansi. Dalam akuntansi, perusahaan perlu membuat sejumlah prediksi. Akuntansi persediaan melibatkan penentuan persyaratan (provisi) untuk biaya-biaya yang ditetapkan. Contoh: sebuah prsh yang mengambil alih (membeli) perusahaan lain, disini perusahaan perlu merombak dan menetapkan kembali semua biaya. Disini akan membutuhkan persyaratan untuk tahun akuisisi yang akan membutuhkan penambahan biaya pada tahun operasional. Prinsip dasar ini sama dengan penentuan provisi umum, yang p;ada awalnya menghapus laba operasional, dan selanjutnya mencatatnya kembali sebagai laba, dan dapat digunakan pada berbagaisituasi. (2) Pengurangan pajak. Pajak perusahaan adalah sebagai pajak perusahaan besar. Perusahaan akan mencoba untuk menurunkan (mengurangi) pajak. Mereka sering menggunakan tim akuntan pajak perusahaan untuk mengurangi tagihan pajak mereka. Beberapa cara penghindaran pajak biasanya tidak dibahas dalam artikel ini. Dengan menggunakan teknk penghindaran pajak, beberfapa perusahaan Inggris dan Amerika yang profit (menguntungkan) jarang membayar pajak. Contoh: UBS Phillips & Drew (1991) menempati posisi ke-24 dari 185 perusahaan Inggris besar yang memiliki tarif pajak dibawah 25%. Hal terpenting disini adalah bahwa penghindaran pajak (tax avoidance) tersebut berperan sama seperti akuntansi kreatif, dan tidak melanggap hukum (legal). Sebakiknya, pengelakan atau penyelewenangan pajak (tax evasion) dinilai sama dengan penggelapan dan melanggar hukum (illegal). Demikian halnya dengan teknik akuntansi kreatif, terdapat bayak industri yang menyarankan perusahaan bahwa teknik penghindaran pajak (tax avoidance) dinilai sangat potensial. (3) Penghapusan kelebihan biaya 1 tahun (excessive one-year write off/Big Bath). Bitg Bath (penghapusan kelebihan biaya selama 1 tahun) merupakan strategi untukmenghapuskan semua biaya yang tidak diperlukan. Alasannya adalah bahwa strategi ini dapat digunakan untuk memperkecil biaya dan berfungsi sebagai sebagaipenghematan biaya selama 1 tahun yang akan ditempatkan untuk tahun mendatang. Dua aspek umum dimana strategi Big Bath digunakan adalah melalui akuntansi pembelian perusahaan (akuisisi atau merger), dan dapat digunakan bila manajemen baru mengambil alih atau membeli sebuah perusahaan. Pada akuntansi merger/akuisisi, disini berhubungan dengan akuntansi persediaan dan persyaratan persediaan. Ide penting disini adalah bahwa anda perlu mencatat beberapa biaya yang memungkinkan untuk digunakan dalam mendukung kinerja masa mendatang. Pada kasus manajemen baru, jika tim manajemen baru gagal dalam memperoleh manfaat (keuntungan) melalui peraturan akuntansi yang fleksibel maka diperlukan beberapa penghapusan biaya sebagai cara yang memungkinkan. (4) Pengurangan biaya dan Penambahan Asset. Persediaan (inventory) merupakan teknik yang favorit bagi akuntan yang kreatif. Penutupan inventory akan dapatdilibat baik pada neraca maupun dalam laporan keuangan, dimana inventory dapat mengurangi biaya penjualan. Selanjutnya jika inventory meningkatykan, maka laba juga meningkat. Hal yang menarik untuk inventory iniadalah bahwa biasanya terdapat perediaan tahunan diman inventory akan dihitung dan dinilai. Disini akan memberikan kemudahan untuk memanipulasi aqsset perusahaan. Terakhir, overhead produksi dapat dimasukkan ke dalam inventory (persediaan), yang selanjutnya mendukung nilai persediaan dan laba. Selanjutnya, terdapat maslaah subjketivitas penting yang berkaitan dengan apakah overhead produksi dapat digunakan secara actual. Sebagai akibatnya, inventory (persediaan) perlu dimanipulasi nilainya. (5) Memperbesar Modal. Kapitalisasi (memperbesar) modal menggunakan prinsip-prinsip dasar yaitu dengan mendebit perkirana tersebut ke dalam neraca apakah sebagai biaya atau sebagai asset. Melalui pengaturan kembali biaya ini, akuntan yang kreatif tidak hanya meningkatkan laba, tetapi juga meningkatykan asset. Pada situasi win-win, aktiva/asset tetap (misalnya: tanah/bangunan, pabrik dan peralatan) biasanya dapat didepresiasikan. Hal ini berarti bahwa biaya tersebut perlu ditingkatkan selama beberapa tahun. Bila perusahaan meminjam uang untuk menghasilkan asset tetap, maka mereka menempatkan biaya bunga ini sebagai bagian dari asset tetap, yang selanjutnya akan dapat memperbesar modal. Jim Hopkins (2002) menyatakan bahwa kegiatan WorldCom dalam memperbesar mdoal untuk kapasitas jaringannya didukung dengan penjualan kembali jaringan kepada konsumennya, yang dapat diiimbagi dengan cara sebagai berikut: (1) Memperpanjang usia penyusutan (depresiasi). Depresiasi adalah biaya non kas, yang melibatkan penempatan (alokasi) biaya asset setiap periode waktu. Depresiasi membutuhkan beberapa prediksi, seperti kelangsungan asset dan nilai suatu asset. Selanjutnya asset dapat direvaluasi (disesuaikan kembali). Terakhir, terdapat beberapa metode depresiasi, seperti metode depresiasi straight-line (straight-line depreciation) atau metode penyesuaian depresiasi (reducing balance depreciation). Sebagai hasilnya, melalui penilaian asset secara berbeda, perubahan umur asset atau metode depresiasi, dapat menghasilkan perubahan nilai depresiasi yang sebenarnya (actual). Cara lain untuk mengurangi depresiasi dengan mencatat nilai aktiva/asset tetap (fixed asset). Jika nilai aktiva tetap berkurang, maka depresiasi akan berkurang juga. (2) Mengurangi pinjaman bermasalah (bad debts). Sebagian bisnis memfokuskan pada kredit. Penjualan dihasilkan melalui piutang transaksi bisnis (debtor). Beberapa piutang (tagihan) bisnis mungkin tidak dibayarkan. Selanjutnya perusahaan menetapkan persyaratan untuk pinjaman atau hutang bermasalah (bad debts) yang didasarkan pada beberapa pertimbangan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan laba, yang selanjutnya menghasilkan nilai pembayaran hutang yang lebih rendah yang didasarkan pada prediksi manajemen. STRATEGI 3: PENURUNAN (PENGHEMATAN) BIAYA. Strategi dapat dilakukan dengan cara: (1) Meningkatkan Goodwill. Goodwill merupakan aktiva/asset tidak berwujud. Dengan kata lain, anda tidak dapat mengetahuinya atau menyentuhnya seperti asset tetap (bangunan, motor atau mobil). Goodwill menyataqkan harhga pembelian dikurangi dengan nilai wajar (fair value) suatu asset. Ketentuan yang ada mengenai pencatatan goodwill berbeda antara satu negara dengan negara lain. Menurut peraturan IASB dan peraturan di Amerika, goodwill dikapitalisasi dihapuskan dari neraca jika nilainya tidak sesuai atau tidak mendukung. Jika nilai Goodwill dapat dimaksimalkan (diperbesar), maka akan meningkatkan nilai asset pada neraca. Selain itu nilai wajar dari suatu akuisisi akan berkurang. Jika asset seperti persediaan (inventory) didatat dalam akuisisi, maka disini akan meingkatkan laba pada saat inventory terjual. Selanjutnya, perusahaan berupaya memaksimalkan goodwill melalui akuisisi dan selanjutnya mengatasi ketidaksesuaian nilai goodwill tersebut. (2) Meningkatkan Merek dan Aktiva Tidak Berwujud Lainnya. Penilaian merek merupakan masalah yang sangat penting dalam akuntansi. Merek seperti “Coca Cola” dan “Guinness” memiliki nilai yang sangat besar. Bagaimanapun, menurut peraturan GAAP keduanya tidak dicatat ke dalam perkiraan (laporan). Beberapa akuntan meyakini bahwa memasukkan nilai mereka dalam suatu perkiraan akan menghasilkan laba bersih perusahaan yang lebih baik. Namun para akuntan lain meyakini bahwa penilaian mereka merupakan penilaian subjektif, dan sebagai alasan yang nyata untuk mendukung nilai asset dalam neraca. Masalah yang terkait dengan merek masih belum jelas, khususnya mengenai cara penilaiannya, karena merek bersifat lebih subyektif. Sebagai akibatnya, mereka dapat dimanipulasi dengan mudah bila diperlukan. Setelah perusahaan semakin kompleks, proporsi asset mereka akan bertambah sebagai asset (aktiva) tidakberwujud. Biasanya aktiva tidak berwujud tidak dimasukkan ke dalam neraca karena sangat sulit untuk dinilai. Selanjutnya sekarang penambahan nilai aktiva berwujud yang dapat dimasukkan pada neraca perusahaan antara lain: nama/merek perusahaan, patent dan merek dagang, keahlian karyawan, software computer, dan keahlian teknis). Karena terdapat kesulitan dalam menentukan nilainya, maka peran akuntansi kreatif dibutuhkan. (3) Menetapkan Kembali Nilai Aktiva Berwujud (Tangible Fized Assets). Di beberapa negara, seperti Inggris, penentuan kembali nilai aktiva berwujud (tangible fixed assets) yang dibolehkan dalam menurut konvensi hirtoris, dimana aktiva tetap yang berwujud digunakan sebagai biaya). Di Inggris, perusahaan yang tidak tercatat atau go-publik (non-listed companies) biasanya dibolehkan jika mereka membutuhkannya, yang melibatkan menilaian kembali nilai tanah dan property mereka. (4) Mark-to-market. Penentuan suatu nilai asset merupakan masalah yang sangat sulit, disini melibatkanpasar-pasar aktif dan pasar dengan berbagai perangkap yang berat. Enron menggunakan akuntansi mark-to-market untuk menetapkan harga dari beberapa kontraknya. Menurut peraturan Amerika, perusahaan yang melakukan kontrak derivative atau kontrak yang berkaitan dengan energy perlu menyesuaikan nilai pasarnya pada periode akuntansi, yang secara langsung dapat mempengaruhi laba atau rugi mereka. STRATEGI 4: PENURUNAN (PENGHEMATAN) BIAYA. Strategi keempat dapat dilakukan melalui: (1) Pembiayaan neraca yang berubah-ubah (off-balance sheet financing). Pembiayaan off-balance sheet merupakan satu bentuk akuntansi kreatif yang sangat sulit. Disini sebagai hal yang sangat sulit untuk diluruskan. Seringkali perusahaan mengikuti rencana atau program yang telah ditetaokan oleh bank komersial. Pembuat peraturan (regulator) juga tetap menggunakan dalam perarturan baru yang bertujuan untuk menghentikan penyalahgunaan (penggelapan). Tujuan utama dari pembiayaan off-balance sheet adalah untuk menghapuiskan hutang (liabilitas) dari neraca. Motif-motif di balik ini sangat berbeda. Pada beberapa kasus, mungki karena perusahaan berada dalam situasi berbahaya akibat melanggar perjanjian hutang yang menyebabkan nilai hutang lebih besar pada neraca. Pada kasus lain, disini mungkin dicatat pada neraca agar neraca terlihat lebih baik. Jika kita amati terdapat perbedaan kecil, beberapa perusahaan meminjam uang untuk membeli asset dan untuk membiayai kegiatan umum mereka. Mereka akan mencatat asset mereka, tetapi bukan hutang mereka. Bank-bank komersial menilai teknik ini sebagai cara yang sangat sulit. Melalui beberapa teknik ini, perusahaan dapat mengakses untuk menggunakan asset , namun pinjaman (hutang) atas asset yang dibeli tidak dicatat pada neraca perusahaan. Terdapat penggabungan liabilitas untuk beberapa perkiraan. Beberapa diantara berkaitan dengan masalah lingkungan dan kesehatan. Contoh: beberapa perusahaan rokok menggunakan liabilitas dalam mengantisipasi biaya perkara hukum yang berhubungan dengan merokok. Atau terdapat tnaggung jawab (liabilitas) terhadap lingkungan yang dinyatakan dalam prinsip “pelaku polusi dikenakan denda (polluter pay). Maka beberapaperkiraan liabilitas gabungan (contingent liabilities) biasanya dihapuskan dari perkiraan, (2) Penempatan kembali Hutang Sebagai Ekuitas. Disini merupakan teknik tersulit lain dari masalah akuntansi, dan sebagai bidang dimana pembuat peraturan berperan sangat aktif. Pada dasarnya, ekuujtas menyatakan modal pemilik. Disini sama (sebanding) dengan laba bersih (net assets) yang terdapat dalam neraca perusahaan. Sebaliknya, biaya hutang ditempatkan di luar modal, yang dihasilkan dari pinjaman/hutang perusahaan. Hubungan antara keduanya disebut sebagai persneling atau roda pengatur (gearing). Maka perusahaan dengan persneling (gearing) yang lebih baik akan memiliki proporsi hutang yang tinggi. Hal ini juga berarti bahwa perusahaan harus membayar bunga tahunan yang sangat tinggi. Perusahaan dengan rasio gearing yang tinggi sangat beresiko dibandingkan dengan perusahaan dengan rasio gearing yang rendah. Perusahaan dengan rasio gearing yang tinggi menghadapi masalah yang berkaitan dengan pelanggaran perjanjianhutang mereka. STRATEGI 5: PENURUNAN (PENGHEMATAN) BIAYA. Strategi kelima ini dapat dilakukan melalui: (1) Memaksimalkan penerimaan kas operasional. Penerimaan kas operasional (operating cash inflows) harus penerimaan yang berasal dari usaha (operasi perusahaan) dan dari item atau perkiraan yang bersifat jangka panjang. Perusahaan mungkin mencoba memasukkannya dengan sistem one-opff items yaitu dengan menjual asset-asetnya. Pada kasus Enron, pinjaman bank, diperlakukan (ditempatka) sebagai penerimaan arus kas operasional. Selain itu terdapat item atau perkiraan lain yang harus dicatat. Pada waktu yang sama, perusahaan memutuskan bagaimana arus penerimaan kas operasional yang memungkinkan, dan bagaimana arus kas yang dibutuhkan untuk investasi dan pembiayaan. Pada kenyataannya, perusahaan berupaya untuk mengelompokkan beberapa arus kas yang memungkinkan (arus kas positif) mereka sebagai arus kas operasional. (2) Pengurangan pengaluaran kas operasional. Disini sama dengan prinsip yang digunakan pada bagian terakhir, namun agak sedikit berbeda. Perusahaan mungkin mencoba menempatkan kerugianoperasional atau biaya operasional ke dalam pembiayaan arus kas non-operasional atau arus kas investasi. Mereka berupaya untuk menetapkan pengeluaran kas operasional, namun tidak menetapkan pengeluaran kas operasional untuk pembiayaan dan investasi. CONTOH PENEMPATAN ANGKA YANG SEDERHANA Contoh sederhana yang disajikan pada Tabel 4.1 menggambarkan beberap[a nilai (angka). Dalam prakteknya, terdapat beberapa penyesuaian yang sangat tidak ketara bersamaan dengan penghapusan laba menurut cara yang diinginkan. Sebagai akibatnya, bila terdapat dugaan (asumsi) dan penilaian (prediksi)manajemen untuk menggunakan angka-angka yang dapat meningkatkan laba. Jika kita mengacu (mengikuti) pendirian akuntansi kreatif (tabel 4.1b) kita dapat mentransformasikan (merubah) laporan penerimaan Creato plc. Dengan cepat Creato plc dapat merubah krugian sebesar 5 miliar poundsterling menjadi laba sebesar 23 miliar poundsterling. PENGGELAPAN (FRAUD). Pada bebarapa kasus, batasan antara ajkts kreatif dengan penggelapan (fraud) masih belum jelas. Contoh:, Enron dam SPE melakukan rekayasa pencatatan dengan smepurna. Bagaimanapun, secara bertahap metode yang digunakan SPE dianggap menimbulkan masalah besar Asosiasi Pemeriksa Penggelapan Bersertifikat (1996) mengelompokkan kecuranga (fraud) ke dalam bentuk penggelapan (misappropriation), penggelapan laooran, penyuapan dan korupsi. Pada beberapa kasus, teknik serupa yang digunakan untuk melakukan penggelapan dalam lapoan keuangan disebut sebagai akuntansi kreatif. Beasley, Carcello dan Hermanson (1999) menemukan bahwa dari 203 perusahaan yang menggunakan metode fraud (penggelapan), 50% menggunakan catatan penerimaan yang tidak benar , dan 50% memuat catatan asset yang berlebihan. Kategori penggelapan lainnya mencakup: 18% melakukan pengurangan perkiraan hutang (pengeluaran), 12% penggelapan asset, 8% pembuatan laporan yang tidak sesuai, dan 20% menggunakan tekniklain. Dua kategori terbesar dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Pencatatan penerimaan yang tidak benar, terdiri dari: 26% pencatatan penerimaan secara fiktif, 24% pencatatan penerimaan sebelum jatuh tempo, dan 16% melebih-lebihkan catatan penerimaan. (2) perekaysaan asset, terdiri dari: 37% melakukan rekayasan penerimaan asset, 12% melakukan pencatahan asset secara fiktif, dan 6% mempebesar nilai item pengeluaran. Teknik-teknik/Metode Penggelapan (Fraud) dapat mencakup: (1) Penggelapan/penyalahgunaan asset. Teknik ini terdiri dari dari: (a) Persediaan (inventory), (b) Kas (uang) dan (3) Lain-lain. (2) Transaksi Fiktif (penggelapan laporan keuangan). Teknik ini mencakup: (a) Catatan penjualan, kas, dan persediaan secara fiktif (one-off), dan (b) .Secara Terencana (Sistematis). PEYALAHGUNAAN (PENGGELAPAN) ASSET. Terdapat beberapa jenispenyalahgunaan. Pada kenyataannya, disini sebagai teknik penggelapan yang sangat mudah yang sama (sinonim) dengan “mamasukkan satu tangan) ke dalam laci atau kas uang. (1) Persediaan (Inventory). Mengingat inventory dapat dijual, hal ini sebagai target yang sangat menarik untuk disahagunakan baik oleh manajemen maupun karyawan.Contohnya adalah sebuah dongeng (legenda). Saya mencatat tentang hal-hal vaforit saya. Pertama kota Kidderminster di Inggris sebagai produsen karpet ternama. Mereka selalu kehilangan karpet setiap hari. Pencurian terjadi sepanjang tahun. Maka pada pertengahan musim dingin, seorang karyawan mengincar karpet di depan pintu gerbang pabrik, penjaga keamanan membantunya, karpet dikemas (dilipat) setinggi pinggang manusia, menyembunyikannya dibawah jas panjang, dan menyelipkannya di sela kaki sambil mengenakan jaket panjang. Setelah dia berjalan, dia kepergokdi depan kantor penjaga keamanan dan selanjutnya ditangkap. (2) Uang (Cash). Uang merupakan sumber hidup dari suatu bisnis. Tanpa uang, bisnis akan segera mengalami kebangkrutan. Perusahaan dapat menghasilkan laba, seringkali sedikit mengalami ketidakstabilan dan mengalami kegoyahan, yang selanjutnya mengalami kebangkrutan. Manajemen dan karyawan mungkin mencoba melakukan pencuriang uang. Contoh, di Inggris pada bulan Juni 2006, seorang karyawan bank Skotlandia, Donald MacKensie, telah mencuri uang senilai 21 juta Pounsterlingf. Dia dipenjara selama 10 tahun. Ironisnya dia telah memalsukan rekening dengan meng-atasnamakan manajer Bisnis Bank Royal Skotlandia yang menjabat sebagai manajer selama 3 tahun berturut-turut (2020,2003, 2004). Selain itu dia tidak membayar bunga atas pinjaman Tujuannya adalah untuk dapat meminjam uang lebih besar. Dia ditangkap alam peristiwa kecelakaan.   (1) Lain-lain. Terdapat beberapa teknk (cara) lain yang dapat digunakan untuk melakukan penggelapan asset. Biasanya banyak dilakukan direktur dibandingkan dengan karyawan. Conjtoh, pada kasus Polly Peck di Inggris yang mengalami kebangkrutan pada tahun 1989, dia dikenakan sanksi indispliner karena telah mencuri sejumlah uang dari perusahaan, selain itu dia telah menggelapkan uang yang didapatkan secara illegal dengan mengatasnamakan perusahaan (Polly Peck International) atau perusahaan cabangnya. TRANSAKSI FIKTIF. (1) Penjualan Fiktif. Cara terakhir untuk meningkatkan penjualan merupakan suatu penggelapan (penyalahgunaan) yang sangat nyata. Contoh: Kasus yang memalukan pada sebuah perusahaan susu di Italia “Parmalat”, yang digugat atas penjualan susu bubuk ke Cuba. Pada kenyataannya, dia digugat atas penjualan 300.000 ton susu bubuk seharga $620 juta. Parmalat telah melakukan pengelapan faktur rangkap, dimana terdapat satu faktur (invoice) asli dan satu faktur palsu. Keduafaktur tersebut dimasukkan ke dalam buku, tetapi haya satu yang dikirimkan kepada konsumen (Langendijk, 2004). Selanjutnya penjualannya melambung. (2) Kas dan Persediaan Fiktif. Kasus Pertama: Walter Walts hidup dalam kemewahan, dibawah naungan the Marylebone Theatre. Kemewahan gaya hidupnya dihasilkan dari pengelapan (penipuan) secara besar-besaran pada the Globe Assurane Office tempat dia bekerja. Dia berfinvestasi untuk tunjangan hari tuanya, dan melakukan penggelapan uang ke dalam rekening miliknya. Selanjutnya, dia terbentuk dengan rekening dividen, dan setelah itu dia melakukan penggelapan uang kembali. Penggelapan telah dilakukan terus menerus antara 5 hingga 6 tahun. Watts dipenjara selama 10 tahun. Menghadapi hal ini dia berupaya untuk bunuh diri. Kasus Kedua: Joseph Cole adalah seorang pedagang biasa. Bisnis (usaha) awalnya selalu tidak berhasil. Dia melakukan pemalsuan jaminan atas inventory. Ternyata, dia menerbitkan dua surat jaminan (warrant) untuk satu cargo. Selanjutnya dia membuat surat jaminan palsu senilai $500,000 agar dia dapat memperoleh perpanjangan pinjamannya. Pada akhirnya, timbul kecurigaan atas perilakukan dan selanjutnya dilakukan penyelidikan td Joseph Cole. Dia ditangkap dan mengakui bersalah, dan dipenjara selama 4 tahun. (3) Secara Terencana (Sistematis). Contoh: Untuk mendirikan sebuah bangunan besar, seorang direktur memalsukan rekening City of Glasgow Bank, McKesson and obbins, Equity Funding Corporation of Amerika. Meskipun dilakukan pada periode waktu yang berbeda, beberapa penggelapan (kecurangan) akuntansi semuanya sama: mereka dilakukan oleh direktur, mereka melakukan dengan melibatkan transaksi rangkap dan terencana (sistematis). KESIMPULAN Keluwesan (fleksibilitas) dalam akuntansi membuka pintu untuk beberapa metode akuntansi kreatif yang berbeda. Batasan antara akuntansi kreatif dengan penggelapan (fraud) masih belum jelas. Persamaan akuntansi dasar adalah asset ditambah biaya (asset + biaya) yang setara atau sebanding dengan penerimaan ditambah hutang dan modal. (penerimaan + hutang + modal). Olehkarena itu, disini memungkinkan untuk melakukan penyesuaian akuntansi, dengan mengklasifikasikan biaya sebagai asset dan pinjaman sebagai penerimaan (income). Terdapat 5 strategi penting untuk akuntansi kreatif. (Strategi 1): Melibatkan peningkatan laba melalui peningkatan penerimaan. (Contoh: melalui menempatkan hutang sebagai penjualan, melalui menempatkan penjualan sebelum jatuh tempo, melalui pemaksimalan penerimaan lain, atau menempatkan hutang sebagai penjualan. Strategi 2: Melibakan peningkatan laba, dapat dilakuakn melalui penguranga biaya (pengeluaran) dengan metode catatan persediaan, penambahan persediaan (inventory), pemanfaatan biaya, perpanjangan umur asset, pengurangan hutang bermasalah, penurunan pajak atau menggunakan teknik pembersihan hutang. Strategi 3: Memfokuskan pada peningkatan laba bersih neraca melalui penambahan asset, antara lain: melalui memasukan aktiva berfwujud dan tidak berwujud, goodwill, dan penambahan cadangan asset (aktiva) tetap. Strategi 4: Melibatkan peningkatan laba bersih neraca, dapat dilakukan melalui penurunan hutang, penempatan perkirana hutang sebagai ekuitas.Strategi 5: Melibatkan pemaksimalan arus kas operasi. Disini dapat dilakukan melalui 2 cara: (1) pemaksimalan arus kas operasi, (2) pengurangan penerimaan kas operasi, dan (3) pada kasus tertentu, dilakukan penggelapan persediaan (inventory), kas dan asset selain juga dilakukan transaksi fiktif atau bisnis fiktif (direkayasa).