Rabu, 25 November 2015

Artikel Pajak ARTIKEL PAJAK (TAX ARTICLE) ANALISIS TERHADAP PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI (PPH ORANG PRIBADI TAHUN 2015 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia berupaya keras untuk melaksanakan pembangunan semaksimal mungkin, dimana negara yang sedang berkembang adalah negara yang terus-menerus melakukan pembangunan nasional dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat. Hal ini senada dengan Waluyo (2012), yang menyatakan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materill maupun spiritual yang didukung dengan penyediaan dana yang memadai untuk keberhasilan pelaksanaan pembangunan tersebut. Salah satu sumber dana yang digunakan untuk pembangunan adalah berasal dari penerimaan pajak penghasilan (PPh). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 dalam Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Data Kemenkeu menunjukkan target penerimaan pajak tahun 2015 sebesar Rp1.484,6 triliun dan PNBP sebesar Rp281,1 triliun. Sementara itu, defisit APBN tahun anggaran 2015 dipenuhi dengan pembiayaan dalam dan luar negeri yang antara lain bersumber dari Surat Berharga Negara, dana investasi pemerintah dan pembiayaan luar negeri. Jika kita perbandingkan antara penerimaan perpajakan pada APBN-P tahun 2015 yang sebesar Rp1.484,6 triliun dengan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2014, maka terdapat peningkatan sebesar 29,5 persen atau setara sekitar Rp339 triliun (Ginting, Mulianta, 2015). Sejalan dengan pesatnya kemajuan di berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, mengakibatkan kebutuhan dan kepentingan rakyat yang semakin beraneka ragam serta semakin kompleks. Hal ini jelas harus diimbangi oleh pemerintah dalam menggalakkan pembangunan di berbagai sektor lainnya, oleh karena itu pemerintah tentunya, memerlukan sumber dana yang tidak sedikit.Sumber dana tersebut diantaranya diperoleh dari pemungutan pajak. Sehingga apabila dari sektor pemungutan pajak mengalami berbagai hambatan, jelas mengakibatkan berkurangnya penerimaan negara, yang berdampak tidak stabil aktivitas negara dalam melaksanakan pembangunan di berbagai sektor (Markus, Muda, 2005). Kepatuhan wajib pajak adalah kondisi dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban dan melaksanakan hak perpajakannya ((Rohmawati, dkk, 2013). Variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak adalah pelayanan fiskus sanksi perpajakan, sosialisasi perpajakan, kesadaran wajib pajak, dan kondisi keuangan, dimana pelayanan fiskus adalah cara petugas pajak dalam membantu, mengurus, atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang yang dalam hal ini adalah wajib pajak (Jatmiko dan Nugroho, 2006). Pelayanan fiskus berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak (Yogatama, 2014). Sanksi Perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan akan ditaati, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan (Mardiasmo. 2009). Sosialisasi perpajakan juga berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Sedangkan temuan Pratiwi dan Setiawan (2013), dan Rohmawati (2012) menunjukkan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak (Rohmawati, 2012). Terakhir, kondisi keuangan wajib pajak memiliki pengaruh positif tehadap tingkat kepatuhan wajib pajak (Aryobimo, 2012). Dengan demikian kepatuhan wajib pajak merupakan salah satu kunci utama untuk memaksimalkan pendapatan negara dari sektor pajak. Dalam RAPBN tahun 2015, pendapatan negara mencapai RP1.762,29 triliun. Dari jumlah itu, penerimaan perpajakan mencapai Rp1.370,82 triliun, atau sebesar 77,79% dari total pendapatan negara. Sedangkan sisanya merupakan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp388,04 Triliun, atau sebesar 22,02% dari total pendapatan negara. Tujuan pemungutan pajak ini adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat yang merupakan perwujudan atas kewajiban kenegaraan dan partisipasi anggota masyarakat dalam meningkatkan penerimaan negara untuk memenuhi keperluan pengeluaran pembangunan nasional, guna tercapainya keadilan sosial dan kemakmuran yang merata baik material maupun spiritual (Harahap, Asri, 2004). Dalam upaya peningkatan penerimaan pajak yang berasal dari orang pribadi pada tahun 2015 ini, pemerintah Indonesia berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) khususnya bagi wajib pajak orang pribadi, dengan tujuan akhir yaitu untuk menambah jumlah Wajib Pajak yang terdaftar dan terdaftar dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Mengingat pentingnya penerimaan negara yang berasal dari sektor pajak ini, maka pada tahun 2015 melalui Anggaran Penerimaan dan Belanja Nasional Perubahan (APBN-P) Pemerintah Republik Indonesia berupaya keras untuk meningkatkan penerimaan dari sektor perpajakan dengan lebih berorientasi pada peningkatan penerimaan pajak penghasilan yang berasakl dari orang pribadi (perorangan) untuk memompa peningkatan target penerimaan pajak dan menghasilkan penambahan jumlah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar dan tercatat dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Hal dapat terlihat pada Postur APBN-P tahun 2015 Pemerintahan Jokowi-JK membukukan belanja negara sebesar Rp1.994,9 triliun. Penerimaan pendapatan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp1.765,7 triliun. Dari jumlah ini, target perpajakan ditetapkan sebesar Rp1.484,6 triiun. Penetapan target penerimaan perpajakan yang sangat tinggi tersebut membuat khawatir beberapa kalangan. Untuk mencapai target ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu melakukan upaya ekstra dalam penentuan strategi perpajakan. Selain itu, dukungan DPR RI juga sangat diperlukan untuk mendorong pencapaian target tersebut yang salah satunya dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan politik anggaran dan regulasi(Ginting, 2015). Untuk itu upaya perwujudannya dalam menuju ke arah otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab, antara lain perlu diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak penghasilan (Mardiasmo, 2003). Didasarkan pada latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk mengetengahkan artikel dengan judul “Analisis Terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh Orang Pribadi) Tahun 2015.” B. Perumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana ekstensifikasi dan intensifikasi pajak penghasilan orang pribadi pada tahun 2015? 2. Bagaimana Strategi Pencapaian Target Pajak Penghasilan Orang Pribadi pada Tahun 2015? 3. Bagaimana upaya Pemerintah/Negara dalam meningkatkan Penerimaan Pajak Penghasilan Perorangan (Orang Pribadi) pada tahun 2015? BAB II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN. A. Pengertian Pajak. Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang secara langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar segala keperluan umum (Mardiasmo. 2009). Marsyahrul, Tony (2005), mendefinisikan pajak sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya dipergunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah, yang balas jasanya tidak secara langsung diberikan kepada pembayarnya, sedangkan pelaksanaannya akan dapat dipaksakan. Pemberian balas jasa tersebut di atas diwujudkan dalam bentuk pemberian kepada seluruh masyarakat seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, pembangunan sarana-sarana umum masyarakat (Marsyahrul, 2006). Sementara Zain Muhammad (2003), mengartikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah ) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjuk untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan (Zain, 203). Djuanda, Gustian dan Irawansyah Lubis (2004), mengartikan pajak sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah dengan paksaan yuridis untuk memperolah alat-alat guna membiayai pengeluaran pemerintah tanpa memberi sesuatu yang timbal balik terhadap pungutan tersebut. Dari beberapa definisi dan istilah pajak di atas, Pajak adalah, iuran atau pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penghasilan pihak wajib pajak atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah dan surplusnya digunakan sebagai sumber utama untuk pembiayaan pembangunan. B. Pengertian Pajak Penghasilan. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015). Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 terbaru adalah sebagai berikut: (1) Penghasilan kena pajak yang berlaku bagi:(a) Pegawai tetap, (b) Penerima pensiun berkala, (c) Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), dan (d) Bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan. (2) Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Dengan ketentuan sebagai berikut: (a) 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan, (b) Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan di atas, dan (c) Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan kotor (bruto). C. Subyek dan Objek Pajak Penghasilan. Subyek pajak penghasilan adalah a) orang pribadi atau perorangan, anak yang belum dewasa,orang yang berada dalam pengampunan diwakili salah seorang wali atau pengampuannya, b) warisan yang belum terbagi, diwakili salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya, c) badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), CV, BUMN, BUMD, dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, firma, dan bentuk usaha tetap (Adya, 2014). Menurut Waluyo (2010), Obyek pajak penghasilan adalah setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia atau diperoleh dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengannama dalam bentuk apapun termasuk di dalamnya, a) gaji, upah, komisi, bonus atau grafitasi, uang pensiun atau imbalan lainnya dalam bentuk uang untuk pekerjaan yang dilakukan, termasuk juga premi asuransi jiwa dan kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, b) honorarium, hadiah, undian, dan penghargaan, c) laba bruto usaha, d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan usaha lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi, e) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya, f) bunga, dalam pengertian bunga termasuk pula imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, baik yang dijanjikan maupun tidak. Kecuali bunga deposito berjangka, tabungan-tabungan lainnya milik penduduk Indonesia yang pelaksanaan pengenaan pajak penghasilannya ditangguhkan sampai saat yang ditentukan oleh pemerintah. Terhadap tabungan-tabungan lain seperti Taska, Tabungan , tidak dilakukan penyusutan perpajakn atau fiskal, g) deviden, dengan nama da dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseorangan, pembayaran deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian SHU Koperasi kepada anggota, h) royalti, dalam hal ini yang dimaksud adalah pembayaran royalti sehubungan dengan penggunaan hak, seperti hak paten atau oktroi, lisensi, merek dagang, pola atau model, rencana, rahasia perusahaan cara pengerjaan, hak pengarang dan hak cipta mengenai suatu karya sinematografi, i) sewa dari harta, yang mana mengatur penghasilan uang yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta, baik harta gerak misalnya sewa pemakaian mobil dan harta tidak bergerak misalnya sewa rumah, j) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, misalnya tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berkala, k) keuntungan karena pembebasan hutang sehingga pembebasan hutang oleh pihak piutang merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berhutang (Waluyo, 2010). D. Fungsi Pajak Penghasilan. Fungsi Pajak Penghasilan dalam Penerimaan Negara berkaitan pada kontek kewajiban Pemerintah Negara Republik Indonesia. Bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia berkewajiban memenuhi masyarakat baik bidang keamanan negara, pertahanan, maupun pelayanan termasuk peningkatan kesejahteraan dan kecerdasan kehidupan bangsa. Karena tugas Pemerintah itulah maka agar dapat meningkatkan kegiatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan, perlu adanya usaha yaitu dengan jalan meningkatkan sumber pembiayaan pemerintah, baik untuk pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Menurut Zain Mohammad (2003), penerimaan pajak penghasilan secara umum dapat digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat yang akan tercermin dalam tingkat kesejahteraan rakyat, selain itu untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Resmi Siti (2009) menambahkan bahwa fungsi pajak penghasilan selain untuk meningkatkan atau melangsungkan kehidupan negara, juga digunakan untuk pembangunan yang akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Sehingga pajak merupakan suatu alat untuk pembiayaan masyarakat, yaitu untuk membiayai pengeluaran untuk kepentingan masyarakat umum. Dengan demikian bahwa pemungutan pajak atas pajak penghasilan selalu berdasarkan keadaaan ekonomi rakyat, hal ini juga berlaku terhadap pajak-pajak lainnya, dan hasilnya digunakan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dari penerimaan negara tersebut, khususnya dari sektor pajak penghasilan. E. Unsur-unsur Penggalian Potensi Pajak Penghasilan. Menurut Selvia dan Abriandi, pada tahun 2015 terdapat tiga unsur penting yang harus diperhatikan dalam upaya pelaksanaan penggalian potensi pajak yaitu: (1) Sumber daya manusia, (2) Penyempurnaan proses bisnis, dan (3) Manajemen kinerja berbasis Balanced Score Card (BSC). Sumber daya manusia tidak hanya dilihat dari segi kualitas dengan memberikan pelatihan dan diklat kepada pegawai pajak. Sementara penyempurnaan proses bisnis, dilakukan untuk mencapai tujuan reformasi administrasi perpajakan yang didukung dengan unsur ketiga yaitu manajemen balanced score card (BSC) yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, dimana kinerja BSC ini dapat diukur melalui 4 persepektif, yang meliputi antara lain: (1) Perspektif pemangku kepentingan atau pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders perspective), (2) perspektif konsumen atau klien (customer perspective), (3) perspekti proses internal (internal process perspective), dan (4) perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and browth perspective). Perspektif stakeholders lebih menekankan pada tolok ukur penerimaan pajak yang optimal dan tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi terhadap Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), perspektif customer lebih berorientasi kepada peningkatan kesadaran dari wajib pajak orang pribadi dalam mematuhi untuk membayar pajak, sementara perspektif proses internal lebih berfokus pada perbaikan pemahaman wajib pajak dengan kesadaran yang tinggi dari dalam diri mereka, yang terakhir perspektif pembelajaran dan pertumbuhan lebih cenderung memfokuskan pada peningkatan pemahaman dari wajib pajak melalui proses pembelajaran dan pencapaian serta peningkatan pertumbuhan jumlah penerimaan pajak yang berasal dari pajak penghasilan perorangan (orang pribadi) (Selvia, Abriandi, 2015). BAB III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Ekstensifikasi pajak merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah wajib pajak (WP) terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Tujuan utama dari ektensifikasi pajak tahun 2015 adalah untuk meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, khususnya pajak penghasilan orang pribadi seperti yang diatur dalam PPh Pasal 21. Salah satu contoh pelaksanaan ekstensifikasi pajak adalah dengan melakukan sensus pajak, dimana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia menerapkan strategi perpajakan tahun 2015 yaitu untuk melakukan sensus pajak yang bertujuan untuk mendata ulang wajib pajak orang pribadi yang pada akhirnya dapat menambah jumlah NPWP khususnya yang berkaitan dengan wajib pajak orang pribadi. Strategi ini dinilai cukup berhasil, hal ini dibuktikan pada tahun 2012 sebelumnya, yaitu dengan merujuk pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 06 Tahun 2001 (SE/06/PJ/2001), dimana sensus penduduk pada tahun 2012 lalu dapat menghasilkan penambahan jumlah NPWP sebanyak dua juta orang, dimana kontribusi penerimaan pajak bagi negara mencapai lebih dari 70 persen dari total keseluruhan penerimaan negara (Gustina,(2013). Maka strategi sensus pajak ini dapat diterapkan kembali sebagai strategi untuk menambah jumlah wajib pajak terdaftar yang berasal dari orang pribadi atau pajak penghasilan dari orang pribadi yang dinilai masih memiliki persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis pajak lainnya. Intensifikasi pajak merupakan kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek dan subjek pajak yang telah tercatat dan terdaftar dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Tujuan utama dari pelaksanaan intensifikasi pajak tahun 2015 ini adalah untuk menggali 2 potensi utama dari para wajib pajak khususnya wajib pajak yang berasal dari orang pribadi (perorangan), yang pertama adalah dengan cara metode langsung (direct method) dengan melakukan penggalian potensi pajak melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Tahunan dan laporan keuangan yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Kedua, adalah dengan menggunakan metode tidak langsung (indirect method), yang menggali potensi wajib pajak orang pribadi melalui pemanfaatan data di luar SPT Tahunan dan Laporan Keuangan (Purwanto, 2013). B. Strategi Pencapaian Target Pajak Penghasilan Orang Pribadi pada Tahun 2015 Pada APBN-P tahun 2015 Pemerintahan Jokowi-JK menetapkan anggaran belanja negara sebesar Rp1.994,9 triliun. Penerimaan pendapatan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp1.765,7 triliun. Dari jumlah ini, target perpajakan ditetapkan sebesar Rp1.484,6 triiun. Penetapan target penerimaan perpajakan yang sangat tinggi tersebut membuat khawatir beberapa kalangan. Untuk mencapai target ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu melakukan upaya ekstra dalam penentuan strategi perpajakan. Selain itu, dukungan DPR RI juga sangat diperlukan untuk mendorong pencapaian target tersebut yang salah satunya dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan politik anggaran dan regulasi. Menurut Carmelita Hartoto, Ketua Umum Indonesia Nation Shippowner Association, target penerimaan pajak dan bea cukai hanya 40,3 persen. Target tersebut sulit dicapai mengingat kondisi ekonomi dunia yang masih belum membaik dan kondisi pertumbuhan ekonomi dalam negeri juga masih melambat. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyatakan kondisi riil penerimaan negara perpajakan selama 4 tahun terakhir tidak pernah mencapai target yang telah ditetapkan. Dimana realisasi pencapaian penerimaan perpajakan dari tahun 2011 sampai 2014 menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak pernah mencapai 100 persen penerimaan pajak.   Total Penerimaan dan Realisasi Perpajakan Negara Tahun 2011-2014 Total penerimaan perpajakan nasional tahun 2011 sebesar Rp.878,7 triliun, sementara itu pada tahun yang sama realisasi total penerimaan pajak nasional hanya sebesar Rp.873.9 triliun. Hal ini berarti realisasi total penerimaan perpajakan nasional yang dilakukan oleh DJP mencapai 99,5 persen. Sedangkan untuk tahun 2012 nilai realisasinya mencapai 96,5 persen dan nilai realisasi ini mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 93,8 persen. Sementara itu, realisasi penerimaan perpajakan tahun 2014 juga terus mengalami penurunan menjadi 92 persen. Menurunnya realisasi penerimaan tersebut disebabkan beberapa permasalahan, yaitu: (1) Otoritas perpajakan yang masih lemah, baik dari sisi kemampuan penjangkauan wajib pajak maupun dari sisi inovasi kebijakan perpajakan; (2) Lemahnya sistem perencanaan dan implementasi otoritas perpajakan; (3) Tingginya praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak oleh wajib pajak (WP) orang pribadi dan badan; dan (4) Terjadinya goncangan dari sisi neraca perdagangan yang berdampak pada depresiasi mata uang rupiah yang menyebabkan munculnya kebijakan fiskal untuk menjaga keseimbangan makro ekonomi dan menyebabkan pemerintah mengeluarkan insentif perpajakan. Kondisi perpajakan nasional pada tahun 2014 mengalami shortfall sebesar Rp.91,2 triliun dengan pertumbuhan penerimaan hanya mencapai 6,65 persen-jauh dari rerata pertumbuhan alamiah sekitar 15 persen. Jika diukur dengan nisbah bouyancy (elastisitas penerimaan terhadap pertumbuhan ekonomi), penerimaan perpajakan sejak tahun 2012 mengalami kecenderungan menurun. Artinya kapasitas institusi perpajakan dalam memungut pajak semakin menurun. Stagnasi pemungutan pajak juga ditunjukkan dengan tax coverage ratio (kemampuan memungut potensi yang ada) yang masih berkutat di kisaran 53,8 persen. Kondisi di atas diperparah dengan rendahnya tingkat kepatuhan pajak. Pada tahun 2014, hanya 9 juta wajib pajak yang menyampaikan SPT dari seharusnya 18,4 juta wajib pajak. Dari kondisi perpajakan nasional ditambah dengan perkembangan kondisi perekonomian global, di mana pemulihan ekonomi di negara-negara maju masih terus berlangsung, namun belum pemulihan ekonomi belum seimbang antara Amerika Serikat dengan negara-negara Eropa. Membaiknya perekonomian AS secara konsisten belum diikuti dengan irama yang sama di kawasan Eropa. Bahkan, perekonomian Jepang cederung mengalami stagnasi dan kasus yang sama perekonomian Tiongkok yang mengarah pada perlambatan yang bersifat struktural. Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan kondisi perekonomian Indonesia yang masih mengalami perlambatan. Kondisi ini akan memberi dampak terhadap semakin sulitnya capaian realisasi dan kinerja perpajakan nasional. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan, cq. DJP harus bekerja keras untuk dapat mencapai target penerimaan perpajakan yang telah ditetapkan. Menyikapi gambaran realisasi pencapaian penerimaan perpajakan dari tahun 2011 sampai 2014 menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak pernah mencapai 100 persen penerimaan pajak, maka pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2015 ini lebih mentargetkan pada pencapaian penerimaan pajak penghasilan (Pph) yang berasal dari orang pribadi, sebagai penyebab utama dari menurunnya penerimaan sektor pajak negara, yang diakibatkan oleh tingginya praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak oleh wajib pajak (WP) orang pribadi dan badan, selain juga mengambil langkah-langkah kebijakan strategis di bidang perpajakan sebagai tugas utama yang harus diemban oleh Direktorat Jenderal Pajak mengantasi berbagai permasalahan penurunan penerimaan dan realisasi pajak negara yang disebabkan oleh otoritas perpajakan yang masih lemah, baik dari sisi kemampuan penjangkauan wajib pajak maupun dari sisi inovasi kebijakan perpajakan; lemahnya sistem perencanaan dan implementasi otoritas perpajakan; dan hambatan dari sisi neraca perdagangan yang berdampak pada depresiasi mata uang rupiah yang menyebabkan munculnya kebijakan fiskal untuk menjaga keseimbangan makro ekonomi dan menyebabkan pemerintah mengeluarkan insentif perpajakan. Untuk mencapai target pendapatan perpajakan optimal yang ditetapkan pada tahun 2015 ini, DJP perlu melakukan sejumlah strategi sebagai berikut: (1) penguatan dan perluasan basis data, yang dilakukan melalui perbaikan data perpajakan dengan digitalisasi SPT dan implementasi e-SPT dan e-filling, implementasi e-tax invoice secara menyeluruh dan implementasi cash register dan electronic data capturing (EDC) yang online dengan administrasi perpajakan; (2) pengawasan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP-OP) dan WP Badan dengan intensifikasi sektor unggulan melalui kegiatan himbauan dan konsultasi; (3) penegakkan hukum terhadap WP melalui penagihan aktif, blokir rekening, penyitaan aset, pencegahan ke luar negeri dan terakhir penyanderaan (gizeling); (4) kerja sama DJP dengan pihak ketiga. Kerja sama ini dapat dilakukan dalam rangka memperoleh data dan informasi transaksi ekonomi dan penegakkan hukum. Kerja sama ini dapat dilakukan dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Perdagangan, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan; (5) perbaikan regulasi terkait perpajakan dengan fokus pada penyempurnaan regulasi yang memperluas basis pajak, seperti: Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Bea Meterai, dan regulasi yang mendukung kegiatan pengawasan dan law enforcement; (6) transformasi kelembagaan dan reformasi birokrasi secara total serta reformasi mental, melalui peningkatan kapasitas dan kualitas SDM, peningkatan kapasitas teknologi informasi, perbaikan business process dan penambahan kantor DJP baru; (7) kebijakan yang sinkron antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal untuk mencapai keseimbangan ekonomi sehingga potensi ekonomi penerimaan pajak tidak hilang akibat kebijakan yang kontraproduktif; dan (8) implementasi pengampunan pajak. Langkah kongkrit yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan untuk mendukung pencapaian realisasi adalah melalui alokasi anggaran bagi peningkatan kapasitas dan kualitas DJP. Persetujuan DPR RI terhadap usulan penambahan anggaran DJP pada APBN-P Tahun 2015 sebesar Rp8,2 triliun untuk belanja modal berupa pembelian peralatan, software, pembukaan sejumlah kantor DJP baru serta remunerasi pegawai di DJP. Langkah atau strategi lain dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak orang pribadi pada tahun 2015 adalah dengan disahkannya peraturan No. 91/PMK.03/2015 (“PMK-91”) tertanggal 30 April 2015 tentang Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 4 Mei 2015. PMK-91 diterbitkan dalam rangka melakukan pembinaan terhadap Wajib Pajak (“WP”) dan untuk mendorong WP menyampaikan Surat Pemberitahuan (“SPT”), membayar atau menyetorkan kekurangan pembayaran pajak dalam SPT, serta melaksanakan pembetulan SPT di tahun 2015 sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dan membangun basis perpajakan yang kuat. Direktur Jenderal Pajak (“DJP”) atas permohonan WP dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi dalam hal sanksi administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan WP atau bukan karena kesalahannya. Strategi perpajakan ini juga didukung oleh Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxtation Analysis mengapresiasi tindakan DJP melakukan tindakan gizeling sebagai langkah awal yang positif bagi penunggak pajak, khususnya wajib pajak orang pribadi (WP-OP). untuk meningkatkan penerimaan pajak penghasilan yang berasal dari orang pribadi (perorangan). Namun, upaya ini harus konsisten untuk menimbulkan efek jera sekaligus mendorong kepatuhan wajib pajak (Mulianta, (2015). Sehubungan dengan upaya peningkatan penerimaan pajak orang pribadi maka berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang KUP, Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak 2009 akan daluwarsa penetapan pada tahun 2014, dan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak 2010 akan daluwarsa penetapan pada tahun 2015. C. Upaya-upaya Pemerintah/Negara dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak Penghasilan Perorangan (Orang Pribadi) pada tahun 2015. Menurut Ragimun (2014), selama ini Ditjen Pajak hanya lebih fokus pada Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebagai penyumbang terbesar penerimaan negara. Padahal negara maju seperti Amerika Serikat medorong pajak penghasilan (PPh) orang pribadi sebagai sumber penerimaan terbesarnya, dengan kontribusi sebesar 47% dari total penerimaan pajak. Sedangkan di Indonesia hanya mencapai 0,4% dari total penerimaan pajak. Hal ini disebabkan Indonesia menganut self assessment system, dimana setiap individu wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang seharusnya dibayar (Ragimun. 2014). Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah atau negara Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategik dan efektif dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi, antara lain: 1) Meningkatkan Sistem Pengawasan Yang Efektif. Sebagai suatu usaha yang bersifat terus menerus untuk mengetahui apakah aktivitas-aktivitas yang telah atau sedang dilaksanakan tidak menyimpang dari kriteria-kriteria yang telah digariskan dalam rencana, apabila terjadi kesalahan atau penyimpangan maka diusahakan perbaikan, supaya kesalahan-kesalahan tersebut tidak terulang lagi. Oleh karena itu pengawasan merupakan salah satu faktor terpenting yang harus dilakukan oleh dinstansi dalam melaksanakan kegiatannya dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Karena sektor perpajakan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting dan sangat menentukan dalam menghimpun tabungan pemerintah agar nantinya dapat membiayai sendiri pembangunan tanpa tergantung pada pinjaman luar negeri. Maka untuk dapat meningkatkan jumlah penerimaan seperti yang diharapkan, hendaknya diperlukan peningkatan daripada sistem pengawasan yang telah dilaksanakan sebelumnya agar tindakan-tindakan yang dapat merugikan negara tidak akan terulangkembali, setidak-tidaknya dapat dicegah terlebih dahulu. Pengawasan yang dilakukan bukanlah semata-mata untuk mencari kesalahan dari wajib pajak yang belum kelihatan, akan tetapi tujuannya adalah untuk mengarahkan seluruh kegiatan-kegiatan dari wajib pajak terhadap kewajibannya dalam rangka pelaksanaan suatu rencana untuk dapat mencapai suatu hasil yang diharapkan sesuai dengan yang direncanakan. 2) Memberikan Pendidikan Khusus Kepada Para Pegawai. Karena disini pengawasan itu dilakukan oleh petugas perpajakan baik kepada wajib pajak maupun terhadap lingkungan perpajakan sendiri maka semakin disadari perlunya petugas-petugas yang benar-benar memiliki keahlian khusus dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dapat diwujudkan dengan jalan memberikan pendidikan khusus baik berupa kursus-kursus maupun melalui penataran-penataran kepada para petugas guna meningkatkan ketrampilan kerja mereka dalam pelaksanaan pengawasan dan tata tertib administrasi. Oleh karena itu dengan meninkatkan kualitas petugas, maka diharapkan akan dapat mencegah terjadinya penyelundupan-penyelundupan pajak oleh wajib pajak, mencegah laporan-laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, sehingga kemungkinan-kemungkinan terjadinya tindakan yang dapat merugikan terhadap penerimaan negara dapat dihindarkan. Melaksanakan kerjasama yang baik dengan masyarakat dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan wajib pajak. Yang dimaksud disni adalah mengadakan pendekatan kepada masyarakat maupun pihak-pihak lain seperti kantor perbendaharaan negara, kantor kas negara dan instansi-instansi lainnya untuk dapat melaksanakan kerjasama dalam usaha memperoleh informasi/keterangan yang berhubungan dengan wajib pajak dan sangat diperlukan oleh aparat perpajakan untuk membuktikan suatu kebenaran dari laporan-laporan yang diberikan wajib pajak. Sehingga apabila terdapat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh wajib pajak dapat segera diketahui dan dapat segera diperbaiki. Melalui kerjasama ini maka aparat perpajakan akan dapat pula mengetahui badan-badan usaha ataupun perseorangan yang potensial untuk dipungut pajaknya, agar segera memenuhi kewajibannya membayar pajak. Dengan demikian jelaslah bahwa adanya kerjasama yang baik akan mewujudkan suatu peningkatan sistem pengawasan yang efektif untuk dapat meningkatkan penerimaan dari sektor perpajakan pada umumnya dan dari sektor pajak penghasilan pada khususnya. 3) Memberlakukan Sanksi Yang Tegas. Adanya pemberlakuan atau pengenaan sanksi yang tegas oleh aparat perpajakan terhadap wajib pajak yang dengan sengaja melakukan kesalahan atau pelanggaran sehingga merugikan negara merupakan suatu tindakan yang tepat untuk dalaksanakan. Tujuan pengenaan sanksi yang tegas atau pemberian pidana disini adalah untuk maningkatkan kesadaran hukum membayar pajak dan lebih menanamkan sifat edukatif, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Oleh karen aitu dengan adanya pengenaan sanksi yang tegas diharapkan masyarakat akan menjadi sadar terhadap kewajiban yang harus dipenuhinya dan memberikan rasa tanggung jawab terhadap pelaksanaan kepercayaan yang telah diberikan kepada masyarakat. Sehingga akan berusaha tidak melakukan kesalahan didalam pengisian SPT, membuat pembukuan/laporan keuangan yang diperlukan, bertindak jujur dalam memenuhi kewajiban. Hal ini setidak-tidaknya akan dapat mencegah terjadinya penunggakan terhadap hutang pajak yang akan menghambat dalam meningkatkan jumlah penerimaannya sesuai dengan target yang telah ditetapkan 4) Memberikan Penerangan-Penerangan Kepada Masyarakat. Untuk dapat melaksanakan ketegasan sanksi dengan baik sehingga tidak merugikan para wajib pajak karena tidak mengerti tentang kesalahan yang dilakukannya, maka perlu suatu usaha yang dapat menunjang pelaksanaan daripada ketegasan sanksi, yaitu dengan memberikan penerangan kepada masyarakat dimaksudkan agar supaya masyarakat dapat mengerti sistem perpajakan yang berlaku, dan merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi. Agar pelaksanaan pengenaan sanksi benar-benar ditujukan bagi wajib pajak yang dengan sengaja melakukan kesalahan maka semakin disadari betapa pentingnya memasyarakatkan Undang-undang Perpajakn yang berlaku, yang mana hal ini merupakan tugas dari pada aparat perpajakan khususnya dan pemerintah umunya untuk memberikan penjelasan-penjelasan secara rutin kepada masyarakat atau wajib pajak tentang hal-hal yang berhubungan dengan kewajibannya sebagai wajib pajak. Penerangan tersebut adapat dilakukan melalui masmedia-masmedia yang ada, dan dapat pula melalui penyuluhan kepada masyarakat. Dengan demikian maka adanya penerangan ini akan dapat memperlancar upaya pemerintah pada umunya, untuk meningkatkan jumlah penerimaan negara dari sektor perpajakan melalui kesadaran masyarakat untuk menjadi wajib pajak yang baik.   BAB IV. KESIMPULAN. Pajak Penghasilan (PPh) adalah, iuran atau pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penghasilan pihak wajib pajak atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah dan surplusnya digunakan sebagai sumber utama untuk pembiayaan pembangunan. Subyek pajak penghasilan adalah a) orang pribadi atau perorangan, anak yang belum dewasa,orang yang berada dalam pengampunan diwakili salah seorang wali atau pengampuannya, b) warisan yang belum terbagi, diwakili salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya, c) badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), CV, BUMN, BUMD, dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, firma, dan bentuk usaha tetap (Adya, 2014). Ekstensifikasi pajak merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah wajib pajak (WP) terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak, yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, khususnya pajak penghasilan orang pribadi seperti yang diatur dalam PPh Pasal 21. Sedangkan intensifikasi pajak merupakan kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek dan subjek pajak yang telah tercatat dan terdaftar dalam administrasi Ditjen Pajak, yang bertujuan untuk menggali 2 potensi utama dari wajib pajak. Dalam upaya meningkatkan realisasi pencapaian penerimaan perpajakan pada tahun 2015,k maka pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2015 ini lebih mentargetkan pada pencapaian penerimaan pajak penghasilan (Pph) yang berasal dari orang pribadi, sebagai penyebab utama dari menurunnya penerimaan sektor pajak negara, yang diakibatkan oleh tingginya praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak oleh wajib pajak (WP) orang pribadi dan badan. Hal ini bertujuan untuk menambah jumlah Wajib Pajak orang pribadi yang terdaftar di administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Target pendapatan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan pada APBN-P tahun 2015 sebesar Rp.1.484,6 miliar. Target pendapatan negara yang berasal dari perpajakan merupakan tugas berat yang diemban Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Oleh karena itu, DJP perlu melakukan extra effort agar dapat merealisasikan penerimaan perpajakan tahun 2015. Untuk itu DPR RI perlu mendorong dan mendukung DJP dalam bentuk dukungan politik anggaran dan regulasi. Politik anggaran diperlukan untuk mendukung operasional DJP untuk mencapai target penerimaan pajak sedangkan pada saat yang bersamaan diperlukan perubahan regulasi yang mendukung perluasan basis pajak dan penguatan penegakan hukum di bidang perpajakan. Salah satunya, DPR RI bersama Pemerintah harus segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang mengenai: (1) Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, (2) Pajak Penghasilan, (3) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan (4) Bea Meterai. Sehingga target penerimaan perpajakan yang ditetapkan Pemerintah menjadi keniscayaan DAFTAR PUSTAKA Adya, Hermawati, Analisis Faktor Untuk Meningkatkan Penerimaan Pajak Penghasilan dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Penerimaan Negara, Jurnal Sains dan Manajemen (JSM), olume III, Nomor 1, April 2014. Aryobimo, Putut Tri. Pengaruh Persepsi Wajib Pajak tentang Kualitas Pelayanan Fiskus terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dengan Kondisi Keuangan Wajib Pajak, Artikel Ilmiah Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. 2012 Ginting, Mulianta. (2015). Strategi Perpajakan 2015: Kajian Terhadap Isu Aktual dan Strategis, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Volume VII, Nomor 03/I/P3DI/Februari, 2015. Gustina. C. (2013). Sensus Pajak Nasional Bantu Tingkatkan Penerimaan Negara, http://www.merdeka.com. 06 Oktober, 2013. Jatmiko, Agus Nugroho. Pengaruh Sikap Wajib Pajak pada Pelaksanaan Denda, Pelayanan Fiskus, dan Kesadaran Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Artikel Ilmiah Akuntansi Universitas Diponegoro, 2006 Markus, Muda, Perpajakan Indonesia (Suatu Pengantar), PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2005. Mardiasmo. Perpajakan, Edisi Revisi, 2009, Yogyakarta: Andi Offset, 2009 Marsyahrul, Tony, Pengantar Perpajakan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005 Purwanto. (2013). Jangkar Kegiatan Usaha, Upaya Ekstra Penggalian Potensi Pajak, Diakses 26 Oktober 2013, http://www.bppk.depkeu.go.id, Ragimun. 2014. Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Indonesia. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Resmi, Siti, Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi Keempat, Salemba Empat, Jakarta, 2009. Rohmawati, Alifa Nur. Pengaruh Kesadaran, Penyuluhan, Pelayanan, dan Sanksi Perpajakan pada Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi. Artikel Ilmiah Ekonomika dan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar, 2012 Rohmawati, Lusia, Prasetyono & Yuni Rimawati. Pengaruh Sosialisasi dan Pengetahuan Perpajakan terhadap Tingkat Kesadaran dan Kepatuhan Wajib Pajak. Artkel Ilmiah, 2013 Selvia, Abriandi. (2015). Pelaksanaan Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pajak Pada KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jurnal Bisnis dan Komunikasi: Kalbi Socio, Volume 2 No. 1 Februari 2015. Waluyo.(2010), Perpajakan Indonesia, Edisi Kesembilan, Salemba Empat, Jakarta, Pers. Waluyo. (2010), Perpajakan Indonesia, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Salemba Empat Pers. Yogatama, Arya. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi di Wilayah KPP Pratama Semarang Candisari). Artikel Ilmiah Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. 2014 Zain, Muhammad, Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta. 2003.

1 komentar:

  1. penerimaan PPh orang pribadi di Indonesia sangat rendah (0,4%) dari total penerimaan pajak lainnya, dibandingkan dengan di USA dimana PPh orang pribadi lebih digalakkan yg kini telah mencapai 47% dari penerimaan jenis pajak lainnya. Hal ini megindikasikan bahwa tingkat kesadaran WP orang pribadi sangat rendah dikarenakan maqsih banyaknya WP yang melakukan penghindaran pajak atau penggelapan pajak (tax evasion). Maka disini sebagai PR berat buat Ditjen Pajak dalam upaya meningkatkan penerimaan Pajak yang berasal dari PPh orang pribadi, meskipun strategi Tax Amnesti sudah digalakkan, namun haislnya belum nyata. Maka kita perlu belajar banyak dari negara yang sudah maju. Tq

    BalasHapus