Senin, 23 November 2015

PENEMUAN HUKUM OLEH NOTARIS PERAN, PRINSIP , DAN TANGGUNG JAWA NOTARIS DALAM MENAFSIRKAN SUATU PENEMUAN HUKUM Oleh: Mahendra Ishak mahendraishak80@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tugas dan tanggung jawab Notaris dalam upaya melakukan penemuan hukum atas suatu peristiwa atau permasalahan hukum yang ada di masyarakat. Empat prinsip yang harus digunakan oleh Notaris dalam melakukan penafsiran penemuan hukum atas permasalahan hukum adalah: prinsip objektivitas, prinsip kesatuan, prinsip penafsiran genetis, dan prinsip perbandingan, Keempat prinsip ini berfungsi sebagai panduan dalam melakukan penemuan hukum. Dalam proses pengambilan keputusan hukum atas penemuan masalah hukum atau peristiwa hukum yang yang ada, Notaris dituntut untuk melaksanakan dua tugas penting yaitu: (1) senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri, dan (2) senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai oleh Notaris dalam melakukan penemuan hukum adalah untuk: (1) Memperbaiki dan/atau merevisi berbagai kelemahan atau keterbatasan dari suatu Undang-Undang yang ada, (2) Membuat Undang-Undang baru (Undang-undang pengganti), (3) Melakukan penelitian dan temuan lebih mendalam, dan (4) Melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) atas berbagai temuan penelitian yang sebenarnya di lapangan dengan menggunakan sikap netral dan tidak memihak. Kata Kunci: Penemuan Hukum, Penafsiran, Notaris.   BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada jaman awal pembentukan profesi Notaris di Negara Indonesia, Notaris merupakan bagian dari pegawai negara yang berhubungan dan terkait serta bertangung jawab secara langsung kepada Presiden. Namun, sekarang Notaris merupakan sebuah jabatan tersendiri yang disebut dengan istilah pejabat umum. Pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik dari Negara, khususnya di bidang hukum perdata. Notaris merupakan suatu profesi dalam bidang hukum yang memberikan jasa dalam pembuatan akta dan alat bukti tertulis, yang mengikuti peraturan dan bentuk yang ditentukan pemerintah, serta tunduk pada undang-undang yang berlaku. Notaris juga membantu berbagai profesi dan pekerjaan lain dalam melakukan banyak hal, seperti pembuatan kontrak, perjanjian, pernyataan, dan berbagai macam surat lainnya. Menurut Undang – Undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 pasal 1 ayat 1, Notaris adalah dan/atau sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tersebut. Kewenangan ini yang membedakan akta produk seorang Notaris dan Akta yang dibuat dibawah tangan. Akta Notaris dibuat atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh sebuah Negara kepada seorang Notaris. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa Notaris disebut juga sebagai profesi yang memiliki martabat yang terhormat. Sehubungan dengan profesi seorang Notaris, ada dua macam alat bukti, yaitu alat bukti tertulis dan alat bukti tidak tertulis. Kedua alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang berbeda, dimana alat bukti tertulis memiliki kekuatan pembuktian lebih dibandingkan alat bukti yang tidak tertulis. Selanjutnya alat bukti tertulis ini dapat dituangkan dalam bentuk surat maupun akta. Akta otentik itu sendiri dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata pasal 1868 didefinisikan sebagai suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang – Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Akta otentik juga memberikan bukti yang sempurna kepada para pihak yang membuat akta serta pihak – pihak lain yaitu para ahli warisnya maupun orang – orang yang mendapatkan hak daripada mereka mengenai apa yang tertulis di dalamnya, seperti dinyatakan dalam pasal 1870 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Hal ini yang membedakan tingkat kekuatan pembuktian akta otentik dibandingkan dengan akta – akta lainnya yang dibuat hanya dibawah tangan. Selanjutnya, dalam suatu peradilan, akta otentik dapat membuktikan dirinya sendiri, sementara akta dibawah tangan seringkali perlu dibuktikan kembali kebenarannya. Dari pasal tersebut diketahui bahwa akta Otentik memiliki kekuatan pembuktian yang terkuat dan penuh dibandingkan dengan akta bawah tangan. Hukum tertulis yang mengikat masyarakat dan rakyat merupakan hukum yang diadakan guna memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai warna Negara, dalam melakukan tindakan – tindakan tertentu. Pada kenyataannya, hukum seringkali tertinggal karena kebutuhan manusia dalam masyarakat terus berkembang dan semakin kompleks. Hal ini mengakibatkan kurangnya hukum yang dapat mengakomodasi kebutuhan dan pertanyaan masyarakat Maka, dalam upaya mengatasi kebutuhan masyarakat tersebut, diperlukan adanya suatu Penemuan Hukum dari hukum yang belum ditegaskan secara tertulis. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengetengahkan judul makalah “Penemuan Hukum Yang Dilakukan Oleh Notaris” 1.2. Perumusan Masalah Dari uraian yang dikemukakan pada bagian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yang diangkat dan akan dianalisis dalam penulisan ini yaitu: a. Apa saja prinsip-prinsip yang harus digunakan oleh Notaris dalam memberikan penafsiran atas suatu penemuan hukum? b. Bagaimana tanggungjawab Notaris dalam melakukan penemuan hukum Sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004? c. Apa tujuan Notaris dalam melakukan Penemuan Hukum terhadap masalah atau peristiwa hukum yang ada?   BAB II TELAAH TEORITIS 3.1. Notaris Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 pasal 1 ayat 1, Notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tersebut. Kewenangan ini yang membedakan akta produk seorang Notaris dan Akta yang dibuat dibawah tangan. Akta Notaris dibuat atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh sebuah Negara kepada seorang Notaris. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa Notaris disebut juga sebagai profesi yang memiliki martabat yang terhormat. 3.2. Macam-macam Akta dan Akta Notaris Terdapat beberapa jenis dan isrilah akta dan akta Notaris antara lain: a. Akta Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. b. Akta dibawah tangan Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh pihak-pihak dalam kontrak secara pribadi, dan bukan dihadapan Notaris atau pejabat resmi lainnya. c. Akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Selain itu Akta otentik adalah akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1868 Akta otentik adalah sebagai akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang- Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Akta otentik juga memberikan bukti yang sempurna kepada para pihak yang membuat akta serta pihak-pihak lain yaitu para ahli warisnya maupun orang-orang yang mendapatkan hak daripada mereka mengenai apa yang tertulis di dalamnya, seperti dinyatakan dalam pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini yang membedakan tingkat kekuatan pembuktian akta otentik dibandingkan dengan akta – akta lainnya yang dibuat hanya dibawah tangan 3.3. Penemuan Hukum 3.3.1. Istilah Penemuan Hukum Penemuan hukum (Rechtsvinding) merupakan proses pembentukan hukum oleh subyek atau pelaku penemuan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu yang dapat dibenarkan dalam ilmu hukum. Istilah penemuan hukum sering digunakan dengan dengan beberapa istilah misalnya dengan sebutan pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum atau penciptaan hukum. Istilah pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa sengketa atau pelanggaran. Namun disamping itu pelaksanaan hukum dapat pula terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim dan hal ini sekaligus pula merupakan penegakan hukum. Sedangkan istilah penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan (peraturan) hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Istilah pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum, bagi setiap orang. Sedangkan istilah penciptaan hukum terasa kurang tepat karena memberikan kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan (dari tidak ada menjadi ada). Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa, dan di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya yang harus digali serta ditemukan. Dengan demikian, maka kiranya istilah penemuan hukumlah yang rasanya lebih tepat untuk digunakan. Walau demikian, sekalipun yang dihasilkan tersebut bukan hukum, akan tetapi dalam hal ini tetap digunakan istilah penemuan hukum juga, oleh karena doktrin tersebut apabila diikuti atau diambil alih oleh hakim dalam putusannya, maka secara otomatis hal itu (ilmu atau doktrin) menjadi hukum. 3.3.2. Batasan Penemuan Hukum Penemuan hukum dalam arti umum dapat diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang diberi tugas untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah suatu proses kongkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit (das sein) tertentu. 3.3.3. Sumber Penemuan Hukum Sumber penemuan hukum tidak lain yang dimaksud adalah sumber atau tempat, terutama bagi hakim dalam menemukan hukumnya. Sumber utama penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Jadi menurutnya terdapat tingkatan-tingkatan, hierarki atau kewedaan dalam sumber hukum. Dalam ajaran penemuan hukum “undang-undang” diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari hukumnya, arti dari sebuah kata maka terlebih dahulu dicari dalam undangundang, karena undang-undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama, namun senantiasa perlu pula diingat bahwa undangundang dan hukum tidaklah identik 3.4. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam penemuan hukum Pihak-pihak yang dapat melakukan penemuan hukum antara lain dapat mencakup sebagai berikut: 1) Pembuat/Pembentuk Undang-Undang Yaitu para pihak yang sering melakukan penemuan hukum, karena pada prakteknya walaupun seringkali hukum sebuah Negara mengadopsi hukum yang telah berlaku seperti hukum Negara lain ataupun hukum internasional, namun dalam kenyataannya kebutuhan masyarakat suatu Negara berbeda dengan kebutuhan masyarakat di Negara lain. Keadaan yang terjadi secara umum juga terkadang berbeda. Hal ini membuat pembentukan Undang-Undang sebuah Negara seringkali juga mengaplikasikan cara menemukan hukum. 2) Hakim Dalam pelaksanaan proses peradilan, para hakim terkadang menjumpai (menemukan) suatu kasus yang harus diputuskan, sebelum hal tersebut diatur dalam peraturan tertulis khusus secara pasti. Ini membutuhkan integritas dari seorang hakim dalam mempertimbangkan hukumnya, agar dapat membuat penemuan hukum yang paling adil dan akan lebih baik jika penemuan hukum tersebut dapat dijadikan hukum tertulis nantinya di kemudian hari. 3) Notaris Dalam upaya melakukan penemuan hukum, Notaris bertujuan dan berupaya untuk mengakomodasi kebutuhan klien mengenai kontrak atau perjanjian atu kesepakatan dari masalah yang mereka bawa, dimana Notaris harus bersikap netral atau tidak boleh berat sebelah. Selanjutnya Notaris harus membuat penemuan hukum secara netral dan tidak berpihak. 4) Para pihak dalam perjanjian Subjek hukum dalam hal ini para pihak dalam perjanjian juga dapat menemukan hukum bagi kepentingan mereka sendiri, yang dapat dimuat dalam kontrak. Kontrak yang disepakati secara sah berlaku menjadi Undang-Undang bagi yang membuatnya 3.5. Metode Penafsiran Dalam Penemuan Hukum Terdapat beberapa macam metode penafsiran yang dapat digunakan dalam penemuan hukum olah Notaris antara lain: 1) Penafsiran Gramatikal Yaitu penafsiran yang memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan tata bahasa. Misalnya: “Pegawai Negeri menerima suap”, maka pelaku di sini adalah Pegawai Negeri, bukan barang siapa atau nakhoda. 2) Penafsiran Authentik Yaitu penafsiran yang resmi atau pasti terhdap arti kata-kata sebagaimana dalam peraturan tersebut. Jenis penafsiran ini banyak terdapat dalam Ketentuan Umum pada suatu produk hukum. 3) Penafsiran Historis Yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukumnya dengan menyelidiki sejarah terjadinya hukum tersebut. Jenis penafsiran ini dapat dipelajari pada Risalah Persidangan di Lembaga Pembentuk Undang-undang, dimana penafsiran berdasarkan Sejarah UU dengan menyelidiki maksud pembentuk undang-undang, misalnya denda Rp. 250,- dapat ditafsirkan sesuai dengan nilai sekarang. 4) Penafsiran Sistemis (Dogmatis) Yaitu penafsiran dengan menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal2 lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU lainnya. Contoh Istilah Pencurian dalam Pasal 363 KUHP harus diartikan dama dengan Istilah Pencurian dalam Pasal 362 KUHP. 5) Penafsiran Teleologis (Sosiologis) Yaitu penafsiran yang bertujuan untuk mempelajari tujuan dari pada dibentuknya suatu produk hukum. Misalnya tujuan dibentuknya UU KPK atau UU Pengadilan Niaga. 6) Penafsiran Ekstensif Yaitu penafsiran dengan memperluas pengertian dari pada suatu istilah berbeda dengan pengertian yang digunakan sehari-hari. Misalnya aliran listrik ditafsirkan sebagai benda. 7) Penafsiran Restriktif Yaitu penafsiran dengan mempersempit pengertian dari istilah. Misalnya kerugian ditafsirkan tidak termasuk kerugian yang tidak berwujud seperti sakit, cacat dan sebagainya. 8) Penafsiran Komparatif Yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, agar dapat ditemukan kejelasan suatu ketentuan UU 9) Penafsiran Futuristik Yaitu penafsiran dengan penjelasan UU dengan perpedoman pada UU yang belum disahkan. Misalnya penafsiran melalui RUU KUHP.   BAB III METODE PENULISAN Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode metode penelitian Yuridis Normatif (kepustakaan), di mana penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan mengacu pada norma-norma atau peraturan hukum tertulis yang sudah ada. Bentuk penelitian yang dilakukan dalam penulisan makalah ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari peraturan perundang-undangan antyara lain: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang yang berkaitan dengan Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengatur tentang tugas, kewajiban dan kewenangan Notaris dalam membuat Penemuan Hukum atas suatu peristiwa dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum yang ada dan berlaku, yang selanjutnya dilakukan penemuan hukum guna memperbaiki kelemahan [eraturan hukum tertulis yang belkum diatus sebelumnya. Sedangkan data sekunder adalah dapat berupa norma hukum tertulis dan atau wawancara dengan informan serta narasumber. Jenis data yang digunakan adalah data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan Data sekunder dapat mencakup Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, buku, majalah, surat kabar, karya tulis dan data tertulis lain yang memberikan informasi bagi pembacanya. Metode analisis yang akan digunakan adalah analisis kualitatif-diskriptif, eksplanatif, yaitu analisis yang bertumpu pada kemampuan menjelaskan dengan menerangkan permasalahan yang dikemukakan dengan menggunakan bahan hukum yang tersedia, untuk selanjutnya didepenelitiankan isinya dengan yang terdapat dalam suatu peraturan, khususnya KUH Perdata, Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004.   BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Prinsip-prinsip yang harus digunakan oleh Notaris dalam memberikan penafsiran atas suatu penemuan hukum Di dalam melakukan penafsiran terhadap suatu penemuan hukum atau peristiwa dan/atau aturan hukum, Notaris, hakim atau penemu hukum lainnya hendaknya harus mematuhi atau mengikuti beberapa prinsip sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, prinsip-prinsip tersebut antara lain mencakup: 1) Prinsip objektivitas. Penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas mungkun untuk perkembangan selanjutnya. 2) Prinsip kesatuan. Setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah. Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya. 3) Prinsip penafsiran genetis. Selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari pembuat hukum tersebut; dan 4) Prinsip perbandingan. Yaitu untuk melakukan perbandingan atau membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu. Keempat prinsip tersebut merupakan prinsip yang dijadikan semacam panduan bagi penafsiran dalam rangka menemukan hukum, sehingga kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat dapat terjalin secara baik.20 Pada umumnya penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret tertentu. Penemuan hukum yang dilakukan oleh Notaris itu sendiri dilakukan atau didasarkan dengan proses sistematis dan terencana yaitu melalui proses: 1) Melakukan perumusan masalah hukum 2) Melakukan pemecahan masalah hukum 3) Melakukan pengambilan keputusan bersadarkan penemuan hukum Dalam prakteknya, Notaris lebih banyak membuat akta dalam bentuk akta baku yang bentuknya telah ditentukan oleh pemerintah dalam Undang-Undang, yaitu akta-akta otentik pada umumnya, serta akta – akta lain yang dibuat oleh Notaris, namun pada saat-saat tertentu. Notaris juga dituntut untuk dapat melakukan penemuan hukum, dalam perjanjian atau kontrak tertentu karena ketidaksempurnaan hukum yang tersedia. 4.2. Tanggungjawab Notaris dalam melakukan penemuan hukum Sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004 Salah satu tanggung jawab Notaris dalam upaya melakukan penemuan hukum adalah untuk memenuhi, menampung atau mengakomodir kebutuhan tertentu itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum atas penemuan masalah hukum atau peristiwa hukum yang yang ada, seorang ahli hukum dalam hal ini Notaris pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu: 1) Notaris senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja. 2) Notaris senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat. 4.3. Tujuan Notaris Dalam Melakukan Penemuan Hukum Terhadap Masalah atau Peristiwa Hukum Yang Ada Kita ketahui bahwa sistem hukum bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang akan membangun tertib hukum. Sementara substansi hukum selalu mengalami perubahan melalui 4 (empat) jenis atau tipe perubahan, tergantung pada asal perubahan (point of origin) dan dampak akhir dari perubahan (point of impact). Keempat jenis perubahan tersebut adalah pertama, perubahan yang berasal dari luar sistem hukum, yaitu dari masyarakat, namun dampaknya hanya berakhir pada perubahan sistem hukum itu sendiri. Kedua, perubahan yang berasal dari luar, yaitu dari masyarakat dan membawa dampak pada perubahan masyarakat. Ketiga, perubahan dari sistem hukum sendiri, namun hanya berdampak secara internal hukum. Keempat, perubahan dari dalam hukum dan berdampak ke luar atau ke masyarakat. Permasalahan hukum yang dihadapi bangsa Indonesia telah diupayakan untuk dicarikan jalan keluarnya dengan memperbaiki perundang-undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan. Oleh karenanya, dalam peraturan perundang-undangan antara satu dengan yang lain saling berkaitan dengan sistem hukum nasional. Dengan demikian hukum merupakan bagian dari sub sistem politik dalam sistem hukum nasional.199 Hal ini dikarenakan bahwa hukum adalah produk dari hasil politik yang disepakati bersama dan ditaati sebagai suatu aturan yang berlaku. Dalam melakukan penemuan hukum, bila hukum yang ada saat ini terutama hukum tertulisnya, tidak jelas atautidak lengkap, perlu dibuat penemuan hukum baru yang diadakan bagi para pihak yang menghadap. Kesepakatan dari penemuan hukum yang Notaris adakan itu yang akan menjadi penemuan hukum dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya, seperti dikatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang – Undang bagi mereka yang membuatnya.23 Dalam melakukan penemuan hukum, Notaris dituntut sebuah tanggung jawab yang ditegaskan dalam pasal 16 Undang-Undang Jabatan Notaris mengenai sikap netral yang harus diambil oleh seorang Notaris. Berbeda dengan seorang pengacara yang dapat melakukan pembelaan terhadap kliennya yang benar secara sepihak, seorang Notaris dalam membuat keputusan dan mencanangkan pasal – pasal dalam aktanya harus dapat melakukan tugasnya itu dengan tidak berpihak pada salah satu kepentingan klien saja. Jabatan notaris tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka notaris tidak lagi dapat dianggap netral.24 Dengan posisi netral, notaris diharapkan untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang dilakukan notaris atas permintaan. Dengan demikian dapat diukatakan, bahwa dalam upaya melakukan penemuan hukum, maka Notaris dituntut untuk melakukan berbagai upaya yang telah dicoba atau dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencari jalan keluar dari permasalahan hukum, yang bertujuan untuk memperbaiki dan/atau merevisi berbagai kelemahan atau keterbatasan dari suatu Undang-Undang yang ada, membuat Undang-Undang baru atau Undang-Undang pengganti terhadap Undang-Undang yang ada, dengan melakukan penelitian-penelitian dan temuan yang lebih mendalam, dan notaris harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) atas berbagai temuan penelitian yang sebenarnya di lapangan dengan menggunakan sikap netral dan tidak memihak. Hal ini sesuai dengan Lili Rasyidi yang menyatakan bahwa upaya-upaya yang harus dilakukan oleh para notaris dalam melakukan penemuan hukum tersebut antara lain adalah: a. Dengan memperbaiki perundang-undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (tidak aspiratif); b. Dengan membuat undang-undang baru untuk dapat mengganti perundangundangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (tidak aspiratif); c. Dengan melakukan penelitian-penelitian yang mendalam oleh kalangan ilmuwan dan akademisi terhadap perundang-undangan yang dinilai bermasalah; d. Dengan penemuan hukum (rechtsvinding) oleh para notaris dapat berperan sebagai penegak hukum, seperti layaknya seorang hakim.   BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tersebut. Kewenangan ini yang membedakan akta produk seorang Notaris dan Akta yang dibuat dibawah tangan. Akta Notaris dibuat atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh sebuah Negara kepada seorang Notaris. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa Notaris disebut juga sebagai profesi yang memiliki martabat yang terhormat (UUJN Nomor 30 tahun 2004 Pasal 1 ayat 1). Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh pihak-pihak dalam kontrak secara pribadi, dan bukan dihadapan Notaris atau pejabat resmi lainnya. Sedangkan Akta notaris (akta otentik) adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Dan sebagai akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Penemuan hukum (Rechtsvinding) merupakan proses pembentukan hukum oleh subyek atau pelaku penemuan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu yang dapat dibenarkan dalam ilmu hukum Beberapa macam metode penafsiran yang dapat digunakan dalam penemuan hukum oleh Notaris dapat mencakup: Penafsiran Gramatikal, Penafsiran Authentik, Penafsiran Historis, Penafsiran Sistemis (Dogmatis), Penafsiran Teleologis (Sosiologis), Penafsiran Ekstensif, Penafsiran Restriktif, Penafsiran Komparatif, dan Penafsiran Futuristik. Terdapat beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh Notaris dalam melakukan penafsiran terhadap suatu penemuan hukum atau peristiwa dan/atau aturan hukum, yaitu (1) Prinsip objektivitas (penafsiran yang didasarkan pada arti secara literal dari aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas mungkun untuk perkembangan selanjutnya, (2) Prinsip kesatuan (setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah. Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya, (3) Prinsip penafsiran genetis (teks asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari pembuat hukum); dan (4) Prinsip perbandingan (membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu). Pada dasarnya, dalam proses penemuan masalah hukum atau peristiwa hukum yang yang ada, Notaris harus melaksanakan dua tugas/ fungsi penting, yaitu: (1) senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri, dan (2) senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Tujuan Notaris dalam melakukan penemuan hukum atas suatu peristiwa atau permasalahan hukum antara lain: (1) Untuk memperbaiki dan/atau merevisi berbagai kelemahan atau keterbatasan dari suatu Undang-Undang yang ada, (2) Untuk membuat Undang-Undang baru atau Undang-Undang pengganti terhadap Undang-Undang yang ada, (3) Untuk melakukan penelitian-penelitian dan temuan yang lebih mendalam, dan (4) Untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) atas berbagai temuan penelitian yang sebenarnya di lapangan dengan menggunakan sikap netral dan tidak memihak. 4.2. Rekomendasi Berangkat dari kesimpulan di atas, maka penulis menyampaikan beberapa rekomendasi yang bertujuan untuk memperbaiki upaya-upaya penemuan hukum yang dilakukan oleh Notaris, antara lain: 1) Dalam upaya melakukan melakukan penemuan hukum atas suatu masalah atau poeristiwa hukum yang ada, sebaiknya Notaris harus menggunakan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam melakukan penafsiran terhadap suatu penemuan hukum, yang mencakup prinsip objektivitas, prinsip kesatuan, prinsip penafsiran genetis, dan prinsip perbandingan, yang pada akhirnya dapat dicapai suatu kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat dapat terjalin secara baik 2) Dalam melakukan penemuan hukum, Notaris hendaknya dituntut berupaya semaksimal mungkin untuk menemukan permasalahan hukum yang dialami oleh berbagai pihak dalam upaya untuk solusi atau jalan keluar dari permasalahan hukum tersebut antara lain melalui dengan memperbaiki atau mengatasi Undang-Undang yang ada, membuat Undang-Undang baru (Undang-Undang pengganti) terhadap Undang-Undang yang ada, melakukan penelitian lebih mendalam, dan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam mengatasi peraturan hukum yang dinilai memiliki kelemahan, bermasalah, dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (tidak aspiratif).   DAFTAR PUSTAKA Buku Lili Rasjidi, Dinamika Situasi dan Kondisi Hukum Dewasa ini: dari Perspektif Teori dan Filosofikal, dalam Kapita Selekta Tinjauan Kritis atas Situasi dan Kondisi Hukum di Indonesia, seiring perkembangan Masyarakat Nasional & Internasional, Bandung, Widya Padjajaran, 2009. Lintong Oloan, Penemuan Hukum, Jakarta: Penerbit UI Press, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2009. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke-2, Jakarta: Prenada Media Group, 2006, Roesnatiti, Kode Etik Notaris, Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Maret 2009. Soerjono Soekamto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 23 Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, Vinca Adriana Setiawan, Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam Melakukan Penemuan Hukum, Artikel Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010 W. Friedmann, Law in a Changing Society, Stevens & Sons Limited, London, 1959, hal.269-270. Artikel Materi “Penemuan Hukum” yang Disampaikan dalam Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Pelita Harapan, Jakarta, 2015. Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh Soesilo dan Pramudji, (Jakarta : Wipress, 2007), Pasal. 1868. Republik Indonesia, Undang – Undang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004, pasal 1 angka 7. Situs/Internet Akta Bawah Tangan http://id.wikipedia.org/wiki/akta_bawah_tangan, diakses dan diunduh 20 Maret 2010. Etika Profesi” http://blog.unila.ac.id/aliyasa/files/2009/11/etika-profesi. doc, diunduh 21 Pebruari 2010 Notaris” http://hukum online/notaris, diakses dan diunduh 20 Maret 2012 Penemuan Hukum”, http://herman-notary.blogspot.com/2010/03/penemuan hukum-rechtsvinding. html diunduh 11 juni 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar